top of page
Search
  • izzulllislam

Bantahan Atas Buruk Sangka Hamba kepada Penciptanya: Isu Penciptaan Keburukan dan Penetapan Takdir

Updated: Jun 5, 2023



Allah Menciptakan Segalanya, Baik Kebaikan Maupun Keburukan. Lalu Apabila Allah Menciptakan Keburukan, Apakah Allah Tidak Sepenuhnya Baik?

Ada pun keburukan, Allah menciptakannya dengan disertai sebuah hikmah…
. . .mungkin bagi sebagian orang ciptaan itu mengandung keburukan. Dengan demikian keburukan itu bersifat parsial dan relatif (suatu hal menjadi buruk bagi satu makhluk, namun hal itu baik bagi makhluk yang lain⁻ᵖᵉⁿ). Allah Mahasuci dari keburukan yang bersifat absolut dan mutlak.
. . .bila dilihat dari hikmah yang terkandung dalam sebuah keburukan parsial dan relatif itu, maka keburukan tersebut dianggap sebagai kebaikan.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam al-Hasanah wa al-Sayyi’ah

Berdasarkan uraian Ibnu Taimiyah rahimahullah, dikarenakan adanya hikmah pada setiap penciptaan keburukan, maka keburukan tersebut sejatinya adalah kebaikan. Sehingga kurang tepat apabila mengatakan bahwa Allah menciptakan keburukan yang bersifat mutlak dan absolut. Yang dengan itu banyak manusia berburuk sangka kepada-Nya; mereka beranggapan bahwa Allah jahat karena memberi musibah atau keburukan kepada mereka.


Jika Memang Keburukan Tidak Bisa Disandarkan Kepada Allah, Lalu Mengapa Tetap Dikatakan bahwa Allah-lah yang Menciptakan Keburukan?


Meyakini bahwa keburukan tidak diciptakan Allah melainkan oleh selain-Nya, berarti menyerupai keyakinan keliru kaum Majusi, yang mengatakan bahwa terdapat dua Tuhan Pencipta. Ada tuhan yang menciptakan kebaikan (Ahura Mazda/Yazdan); ada pula tuhan yang menciptakan keburukan (Ahriman/Ahraman). Dan sebagaimana keyakinan kaum Qadariyah. Hal ini berdasarkan hadits Nabi dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma:


. . . الْقَدَرِيَّةُ مَجُوسُ هَذِهِ الْأُمَّةِ
Kaum Qadariyah adalah Majusi umat ini. . .” (HR. Abu Daud No. 4071, penomoran Al-Alamiyah)

Penyebab kaum Qadariyah Mu’tazilah dikatakan menyerupai Majusi adalah karena mereka beranggapan bahwa segala perbuatan manusia dilakukan dan diciptakan oleh manusia itu sendiri, entah itu perbuatan buruk atau baik. Dengan kata lain, mereka yakin ada entitas lain yang mampu menciptakan baik atau buruk selain Allah, yakni manusia. Meski pun demikian, penganut paham Qadariyah di masa belakangan sudah mengakui keberadaan qadar/takdir atau intervensi Tuhan terhadap perbuatan manusia. Hanya saja mereka masih beranggapan bahwa takdir baik saja yang berasal dari Allah, sedangkan takdir buruk mereka anggap bukan dari Allah ta’ala, melainkan ciptaan manusia.


Uniknya, dalam mengomentari hadits tersebut, tokoh terkemuka Mu’tazilah, Al-Qadhi Abdul Jabbar mengatakan bahwa yang dimaksud menyerupai Majusi malah adalah kaum Jabariyah yang meyakini bahwa manusia tidak memiliki kebebasan memilih—untuk berbuat baik atau buruk; alias semua perbuatan manusia diciptakan dan dipaksa oleh Allah Ta’ala (kebalikan dari Qadariyah). Al-Qadhi beranggapan bahwa meyakini ‘pemaksaan’ Takdir Baik dan Takdir Buruk oleh Allah sebagaimana kaum Jabariyah, berarti sama dengan kaum Majusi yang menyembah tuhan pencipta kebaikan sekaligus tuhan lain pencipta keburukan.


Para ulama dari kalangan ahlussunnah sepakat bahwa yang dimaksud sebagai Qadariyah dalam hadits tersebut memang betul adalah kelompok Al-Qadhi Abdul Jabbar dkk., atau juga dikenal sebagai sekte Mu’tazilah.


Semua Perbuatan Allah Adalah Kebaikan


Keyakinan yang in syaa Allah benar dalam masalah penisbahan baik dan buruk kepada Allah adalah sebagaimana disampaikan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam bukunya al-Hasanah wa al-Sayyi’ah, bahwa kebaikan dinisbahkan kepada Allah Ta’ala dari segala sisi, sedangkan keburukan dinisbahkan kepada-Nya hanya dari sisi penciptaan. Karena Dialah yang menciptakan keburukan sebagaimana Dia menciptakan kebaikan. Allah Ta’ala berfirman:

وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ
“. . .dan dia telah menciptakan segala sesuatu. . .(QS. Al-Furqon/25:2)

Lebih lanjut lagi, dijelaskan dalam syarh Shahih Muslim karya Imam An-Nawawi. Di mana terdapat kutipan dari Imam Al-Khaththabi (w. 388 H):

Keduanya (Kebaikan dan Keburukan) tidak dapat terwujud kecuali dengan kehendak-Nya. Dengan kata lain, kebaikan dan keburukan diwujudkan dan diciptakan oleh Allah. Sedangkan yang mengaplikasikan keduanya nantinya adalah para hamba-Nya.”

Sekali lagi ditegaskan bahwa setiap yang Allah ciptakan pasti baik. Sekali pun keburukan dinisbahkan kepada-Nya dari sisi penciptaan, pada hakikatnya keburukan tersebut adalah kebaikan. Allah menciptakan keburukan pasti disertai dengan hikmah di dalamnya. Dengan alasan itu, keburukan yang diciptakan atau dikehendaki Allah bersifat parsial atau relatif; yang jika diketahui hikmah di dalamnya, keburukan itu sejatinya adalah kebaikan.


Misalnya seperti Fir’aun yang dibinasakan Allah beserta pengikutnya, tentu pembinasaan tersebut adalah buruk bagi Fir’aun (keburukan yang bersifat parsial), namun dari hal tersebut muncul manfaat yang besar bagi seluruh manusia hingga hari akhir beserta pelajaran yang dapat ditarik dari kisah Fir’aun tersebut.


Allah Menghendaki dan Mentakdirkan Keburukan Seseorang, Bukan Berarti Allah Menyukai Keburukan Itu

وَكُلُّ شَيْءٍ يَجْرِي بِتَقْدِيرِهِ وَمَشِيئَتِهِ وَمَشِيئَتُهُ تَنْفُذُ لَا مَشِيئَةَ لِلْعِبَادِ إِلَّا مَا شَاءَ لَهُمْ فَمَا شَاءَ لَهُمْ كَانَ وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ
“Segala sesuatu berjalan menurut takdir dan kehendak Allah. Setiap yang dikehendaki Allah pasti terjadi, dan kehendak makhluk tergantung pada kehendak-Nya. Apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi dan yang tidak Dia kehendaki tidak bakal terjadi.”Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi (w. 321H)

Syekh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Al-Aqidah Ath-Thahawiyah: Syarh wa Ta’liq, menjelaskan bahwa segala sesuatu terjadi menurut kehendak dan keinginan Allah, baik maupun buruk. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa tidak berarti Allah mencintai segala hal yang dilakukan manusia. Cinta tidak identik dengan kehendak. Syekh Al-Albani kemudian mengutip syair yang berbunyi:


Allah menghendaki kebaikan dan keburukan;

Akan tetapi, Dia tidak menyukai keburukan.


Perbuatan/Tingkah Laku Adalah Sifat dari Hamba; Sementara Hamba dan Sifatnya Tersebut Adalah Ciptaan Allah


Mendengar, melihat, berbicara, jatuh cinta, merupakan beberapa contoh “fasilitas” yang diciptakan Allah untuk hamba-Nya, yakni berupa sifat yang pada dasarnya melekat pada tiap-tiap hamba. Sebagai contoh, Fulan menolak untuk mendengar pendapat orang tuanya, maka Fulan berarti tidak mengaplikasikan sifat “mendengar” yang melekat pada manusia. Contoh kedua, Fulana berbicara kepada pamannya, maka Fulana mengaplikasikan sifat “berbicara” yang melekat pada manusia. Namun apakah Fulana bisa memilih untuk tidak berbicara? Jawabannya bisa. Dari kedua contoh itu, Fulan & Fulana beserta sifat-sifat yang melekat dan dapat mereka pilih untuk “diamalkan” tersebut adalah makhluk atau ciptaan Allah.


Sebagaimana pernyataan Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah (w. 629 H) dalam kitabnya Lum’atul I’tiqod:


خَلَقَ اَلْخَلْقَ وَأَفْعَالَهُمْ
“. . .Dia (Allah) menciptakan makhluk dan tingkah lakunya. . .”

Berdasarkan Firman Allah Ta’ala:

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Padahal Allah yang-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. Ash-Shaaffaat/37:96)

Maksud dari pernyataan Ibnu Qudamah beserta ayat di atas, dijelaskan dengan lebih rinci oleh Syekh al-Utsaimin rahimahullah, bahwa seluruh perbuatan hamba adalah makhluk atau ciptaan Allah, Dialah yang berkehendak untuk mewujudkan adanya perbuatan/tingkah laku sebagai sifat atau karakteristik manusia (yang nantinya bisa masuk dalam kategori ketaatan atau pun kemaksiatan sesuai dengan ketentuan syari’at-Nya). Begitu pun dengan penyebab seorang hamba bisa mewujudkan perbuatan tersebut, yaitu (1) kehendak bebas dan (2) kemampuan fisik. Karena tanpa keduanya, seorang hamba tidak akan bisa melakukan perbuatan, entah taat atau bermaksiat.


Lebih ringkasnya, perbuatan atau pun penyebab perbuatan (kehendak bebas dan kemampuan fisik) disandarkan kepada Allah dari sisi penciptaan dan takdir. Sedangkan dari sisi yang mengusahakan atau pelaksanaan, disandarkan kepada hamba. Sebab hamba telah diberi kehendak bebas dan kemampuan fisik untuk bisa memilih ingin berusaha atau melakukan perbuatan A, B, C, atau D, dan seterusnya. Usaha atau pelaksanaan hamba atas ciptaan Allah pada dirinya (yakni ciptaan berupa perbuatan/sifat, kehendak, serta kemampuan fisik hamba) itulah kemudian yang akan dihisab dan mendapat balasan dari Allah kelak.

الْيَوْمَ تُجْزَىٰ كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ
“Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan (sesuai) dengan apa yang diusahakannya.”(Q.S. Al-Mu’min/40:17)

Takdir Allah Meliputi Perbuatan dan Musibah yang Menimpa Hamba-Nya, Akan Tetapi Tidak Boleh Berburuk Sangka atau Menyalahkan Allah dengan Dalih Takdir


مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid/57:22)
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah telah menuliskan/menetapkan takdir semua makhluk, lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim No. 4797, penomoran Al-Alamiyah, Bab Perdebatan antara Adam dengan Musa)

Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu pernah menangkap seorang pencuri. Pada sesi interogasi, pencuri itu berkata, “Tuhan telah menakdirkan aku mencuri.” Pada akhirnya, Umar sangat marah dan menganggap pencuri tersebut telah berdusta atas nama Tuhan. Pencuri itu dihukum dengan dua jenis hukuman. Pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman cambuk karena berdalih dengan takdir Tuhan.


Keburukan (musibah atau pun perbuatan maksiat) yang menimpa seorang hamba memang betul merupakan takdir Allah. Namun ini bukan alasan seorang hamba untuk berburuk sangka atau menyalahkan-Nya. Sebab yang dimaksud dengan takdir, berdasarkan penjelasan Imam Al-Khaththabi yang dinukil oleh Imam Nawawi dalam syarh Shahih Muslim adalah:

Qadha dan Qadar tidak lain adalah pemberitahuan bahwa Allah Ta’ala telah mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi pada diri seorang hamba. Selain itu, juga sebagai pemberitahuan bahwa segala sesuatu yang diperbuat hamba, baik itu terpuji maupun tercela, tidak lain berdasarkan takdir (perbuatan hamba tidak akan berbeda/melenceng dari pengetahuan Allah yang kemudian menjadi takdir atau ketetapan-Nya⁻ᵖᵉⁿ).

Keburukan yang menimpa seorang hamba, adalah akibat perbuatan hamba itu sendiri. Berdasarkan Firman Allah:

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa/4:79)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga menjelaskan hal ini dalam Al-Hasanah wa Al-Sayyi’ah:

Dosa yang pertama kali dilakukan oleh hamba, diciptakan oleh dirinya sendiri (hamba tersebut⁻ᵖᵉⁿ), bukan oleh Allah. Kemudian Allah menciptakan dosa berikutnya sebagai balasan atasnya.
. . .Dosa yang pertama kali diciptakan oleh Allah merupakan hukuman kepada hamba akibat tidak terwujudnya perbuatan baik. . .”

Yang dimaksud “tidak terwujudnya perbuatan baik” yakni tidak terlaksananya tujuan penciptaan oleh seorang hamba.


Seluruh manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, hal ini menunjukkan bahwa Allah berkehendak menjadikan setiap hamba dalam keadaan bersih dari dosa pada saat lahir, ada pun dosa yang pertama kali terwujud nanti disandarkan kepada hamba sebagai pihak yang mengupayakan dan diberi kemampuan serta kehendak bebas untuk berbuat baik atau buruk.


Rasulullah bersabda:

مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ. . .
Seorang bayi tidak dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah). Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi. . .” (HR. Bukhari No. 4402, Muslim No. 4803, penomoran Al-Alamiyah)

Setiap manusia yang terlahir dalam keadaan fitrah tersebut, diutus kepada mereka para Rasul. Yang dengan itu, mereka atau hamba-Nya tidak akan bisa membantah Allah di hari perhitungan nanti dengan dalih takdir. Sebab Allah memberi mereka kehendak bebas untuk memilih dan tidaklah dipaksa untuk mengikuti seruan para Rasul—yang walaupun syari’atnya berbeda satu sama lain, para Rasul tersebut membawa ajaran pokok yang sama terkait aqidah, yakni seruan untuk menyembah Dzat yang satu absolut, yakni Allah Ta’ala.


Manusia tidak dipaksa dalam hal beramal atau beribadah kepada Allah.

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ. . .
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kemampuanmu. . .” (QS. At-Taghabun/64:16)

Dalil bahwasanya tidak akan ada pelaku maksiat yang bisa membantah Allah di hari perhitungan kelak. Sebab merekalah yang memilih untuk tidak mengindahkan seruan para Rasul Allah.

لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ . . .
Supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah diutusnya rasul-rasul itu. . .” (QS. An-Nisa/4:165)

Apa tujuan penciptaan manusia yang diserukan kepada manusia?

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.(QS. Az-Zariyat/51:56)

Ketika hamba-Nya tidak melaksanakan tujuan penciptaan tersebut, maka hamba tersebut berarti tidak mewujudkan kebaikan. Dengan demikian, dosa yang pertama kali dilakukan oleh hamba adalah tidak melaksanakan tujuan penciptaan tersebut; tidak melakukan apa yang telah menjadi fitrahnya; serta tidak melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya melalui Rasul-Nya. sedangkan dosa-dosa berikutnya adalah hukuman yang ditimpakan dan diciptakan Allah sebagai balasan atas dosa yang pertama dibuat oleh hamba.


Hikmah Dibalik Kehendak Allah Menciptakan Manusia dengan Kemampuan dan Pilihan untuk Berbuat Dosa


Telah dijelaskan di atas, bahwa keburukan yang diciptakan Allah adalah keburukan yang bersifat parsial, bukan mutlak. Dan keburukan tersebut sejatinya adalah kebaikan, sebab setiap keburukan yang diciptakan Allah terdapat hikmah di dalamnya. Begitu pun perbuatan maksiat atau dosa pada manusia. Di mana Allah berkehendak untuk menjadikan manusia sebagai hamba yang mampu berbuat dosa atau enggan melaksanakan tujuan penciptaan. Lalu mengapa Allah menciptakan hal demikian itu? Pada dasarnya Allah tidak ditanya tentang perbuatan-Nya.

لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. Al-Anbiya/21:23)

Akan tetapi boleh mencari tahu hikmah di balik penciptaan tersebut. Allah memang berkehendak menciptakan manusia yang mampu dan bisa memilih untuk berbuat dosa. Bahkan berdasarkan pengetahuan dan ketetapan-Nya, setiap manusia tidak akan luput dari dosa. Rasulullah bersabda:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ لَمْ تُذْنِبُوا لَذَهَبَ اللَّهُ بِكُمْ وَلَجَاءَ بِقَوْمٍ يُذْنِبُونَ فَيَسْتَغْفِرُونَ اللَّهَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ
"Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya kalian tidak berbuat dosa sama sekali, niscaya Allah akan memusnahkan kalian seluruhnya. Setelah itu, Allah akan mengganti kalian dengan umat yang berbuat dosa, sehingga mereka akan memohon ampunan kepada Allah dan Allah pun pasti akan mengampuni mereka." (HR. Muslim No. 4936, penomoran Al-Alamiyah)

Dari hadits tersebut, dapat diketahui bahwa dibalik kehendak Allah menciptakan manusia yang mampu berbuat dosa, terdapat kehendak lain Allah, yakni agar manusia bertaubat kepada-Nya. Dan taubat adalah kebaikan yang tidak bisa terwujud, kecuali dengan adanya dosa tersebut. Bukan berarti Allah suka dengan orang yang berdosa, akan tetapi yang Allah sukai adalah taubat oleh hamba-Nya tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam hadits lain:

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ. . .
“Setiap anak Adam adalah bersalah dan sebaik-baiknya orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertaubat.” (HR. At-Tirmidzi No. 2423, penomoran Al-Alamiyah)

Pada dasarnya manusia melakukan dua kezaliman terhadap dirinya, (1) tidak melaksanakan tujuan penciptaan (tidak berbuat baik), hal ini tidak dinisbahkan kepada Allah, melainkan kepada manusia yang diberi kehendak bebas, dan (2) melakukan dosa, yang dimaksud di sini adalah dosa yang ditimpakan Allah kepada seseorang yang tidak menjalankan tujuan penciptaan, jadi statusnya adalah sebagai hukuman kepada seseorang tersebut. Sebagaimana perbuatan maksiat yang biasa dilakukan di masa kecil bisa jadi merupakan penyebab berbuat maksiat ketika telah dewasa. Kecuali ia bertaubat setelah mencapai usia baligh serta telah disampaikan dalil kepadanya. Terjebaknya seseorang dalam keburukan merupakan hukuman dari tidak melakukan perbuatan baik.


Dengan demikian, kehendak Allah menciptakan manusia dalam kondisi yang demikian adalah baik. Adanya keburukan parsial yang Allah timpakan kepada manusia, yakni dosa beserta ancaman maupun hukuman, dapat menuntun manusia untuk tunduk kepada-Nya, sadar akan kebergantungan kepada-Nya. Karena tidak ada yang bisa mengampuni dosa selain Dia. Karena dosa tersebut, hamba-Nya mendapat kebaikan yang tidak dapat diraih dengan selainnya. Ada pun kalau dia belum bertaubat, maka ia layak mendapatkan hukuman. Sebab Allah tidak memaksa seseorang untuk bermaksiat atau pun bertaubat. Manusia diberi kehendak bebas untuk melakukan keduanya. Dan yang terpenting adalah para Rasul telah menyampaikan dan menjelaskan perintah serta konsekuensi hukuman atas kemaksiatan serta tidak melaksanakan kebaikan. Sehingga tidak ada satu pun hamba yang akan bisa membantah Allah di yaumul hisab (hari perhitungan) kelak.


Berburuk Sangka kepada Allah Hanya Akan Membuat Kita Semakin Terpuruk


Terkadang ketika seorang hamba ditimba musibah, entah itu kecelakaan, kemiskinan, kematian orang tercinta, dan sebagainya—menganggap bahwa musibah itu adalah bukti bahwa Allah itu Dzat yang jahat (na’udzubillah). Dari musibah tersebut, terdapat sebagian hamba yang kemudian berburuk sangka kepada-Nya. Padahal buruk sangka hamba itu tidak akan menolongnya, dan malah akan mengakibatkan hukuman ditimpakan kepadanya. Sebab, buruk sangka kepada Allah adalah dosa besar. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah dalam ad-Daa’ wa ad-Dawaa’:

“. . .Orang yang berburuk sangka kepada Allah telah melakukan hal yang berseberangan dengan kesempurnaan-Nya yang suci. Ia telah berburuk sangka tentang perkara-perkara yang berlawanan dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. . .

Ibnul Qoyyim juga berkata:

. . .tidaklah mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya orang yang mengatakan bahwa Dia menghukum hamba-Nya atas apa yang tidak dilakukan oleh hamba tersebut. . .”

Contoh, apabila ada yang mengatakan bahwa Allah itu zalim karena menghukum seorang hamba, tentu keliru. Apalagi mengatakan bahwa Allah menghukum hamba-Nya atas apa yang tidak dilakukan hamba. Padahal, Allah tidaklah menghukum seorang hamba kecuali atas kezaliman yang dilakukan oleh hamba tersebut. Dan hukuman berupa keburukan itu sejatinya adalah kebaikan sebab ada hikmah di dalamnya.


Buruk sangka kepada Allah dalam hal ini (mengatakan Allah zalim karena menghukum hamba-Nya), berarti mencela Allah sebagai Dzat yang tidak adil, tidak mengasihi, tidak menyayangi hamba-Nya. Padahal kebalikannya, Allah adalah Dzat dengan Nama dan Sifat yang Maha Adil, serta Maha Pengasih dan Penyayang. Oleh sebab itu, berburuk sangka kepada Allah hanya akan menghasilkan musibah dan kerugian bagi seorang hamba, entah itu di dunia maupun di akhirat kelak. Allah Ta’ala berfirman.

وَذَٰلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِي ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka kepada Tuhanmu, Dia telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Fushshilat/41:23)

Sepatutnya setiap hamba tidak berburuk sangka kepada Allah, meski dalam keadaan paling sulit sekali pun. Ingatlah, bahwa sejatinya musibah yang menimpa diri kita, tidak lain disebabkan oleh perbuatan yang kita lakukan. Sebaliknya, Allah menimpakan musibah sebagai balasan atas perbuatan manusia, yang mana di dalamnya mengandung hikmah alias kebaikan. Jadi kesimpulannya, segala perbuatan Allah itu adalah baik (``,)


Pengingat

Bahasan tentang Dzat Allah, seperti takdir maupun sifat-sifat-Nya merupakan pintu masuk syaithon. Sebagaimana disampaikan oleh Imam al-Ghazali rahimahullah dalam Ihya’Ulumuddin. Oleh karenanya, untuk melindungi diri dari pengaruh syaithon tersebut, ucapkan, “Aamantu billahi wa rasulihi”. Sesuai dengan sabda Nabi:

إن الشيطان يأتي أحدكم فيقول: من خلقك؟ فيقول: الله تبارك وتعال، فيقول: من خلق الله؟ فإذا وجد أحدكم ذلك فليقول: آمنت بالله ورسوله فإنّ ذلك يذهب عنه
"Sesungguhnya setan mendatangi salah seorang di antaramu lalu bertanya: 'Siapa yg menciptakanmu?' Kemudian org itu menjawab: '𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘵𝘢𝘣𝘢𝘳𝘢𝘬𝘢 𝘸𝘢 𝘵𝘢'𝘢𝘭𝘢'. Setan bertanya lg: 'SIAPA YG MENCIPTAKAN ALLAH?' Jika salah satu di antaramu menghadapi hal tersebut, katakanlah, '𝑨𝒂𝒎𝒂𝒏𝒕𝒖 𝒃𝒊𝒍𝒍𝒂𝒉𝒊 𝒘𝒂 𝒓𝒂𝒔𝒖𝒍𝒊𝒉𝒊' (Aku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya). Karena sesungguhnya jawaban tersebut dapat mengusirnya."
(قال العراقي: رواه أحمد والبزار وأبو يعلى في مسانيدهم ورجاله ثقات وهو متفق عليه من حديث أبي هريرة)
(Al-Hafizh Al-'Iraqi brkata: "Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bazzar, & Abu Ya'la dlm musnad mrk; perawi²nya tsiqoh (terpercaya) & hadits tsb muttafaq alaih dari hadits Abu Hurairah.)

Wallahu a’lam bishshawwab


Referensi:

1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, al-Hasanah wa al-Sayyi’ah

2. Imam An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhin-Nawawi

3. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ad-Daa’ wa ad-Dawaa’

4. Syekh al-Utsaimin, Lum’atul I’tiqod bi Syarh Muhammad bin ‘Utsaimin

5. Syekh Al-Albani, al-Aqidah ath-Thahawiyyah Syarh wa Ta’liq

6. A. Ya’kub Matondang, Tafsir Ayat-ayat Kalam Menurut Al-Qadhi Abdul Jabbar

7. Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam: Edisi Revisi

8. Taufik Rahman, Tauhid Ilmu Kalam

796 views0 comments

Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page