top of page
Search
  • izzulllislam

Al-Qur'an Tidak Autentik (?): Jawaban Ilmiah atas Tuduhan Christian Prince dan Gratia Pello


Isu mengenai berbagai versi Al-Qur’an mulai dinaikkan kembali oleh non-muslim, khususnya dari kalangan Kristen,⸺dan hal tersebut (menurut mereka) menunjukkan bahwa Al-Qur’an tidak lagi terjaga keautentikannya. Sebagai contoh, berikut beberapa dari mereka yang sempat viral ketika membahas hal tersebut:


1. Gratia Victory A. Pello pada bulan Maret 2020 lalu, di kanal YouTube-nya, ia meng-upload beberapa video yang masing-masing berjudul, (1) “Perbedaan-perbedaan Varian Teks pada Al-Qur’an di Dunia”, (2) “Perbedaan Teks & Bacaan Al-Qur’an Hafsh dan Warsy”, dan (3) Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an: Membongkar Kebohongan tentang Qira’atus Sab’ah;


2. Christian Prince dengan videonya, (1) Seven Readings of Qur’an or Seven Lies? (Tujuh Macam Bacaan Al-Qur’an atau Tujuh Kebohongan?), (2) There is No Qur’an – There is Only the Recitation of Hafsh (Qur’an itu Tidak Ada – Yang Ada Hanyalah Bacaan dari Hafsh).


Sorotan utama mereka tertuju pada perbedaan di antara mushaf yang digunakan oleh kaum muslimin, misalnya saja perbedaan antara Al-Qur’an di Indonesia dengan yang dipakai di Tunisia, Maroko, Mesir, dan beberapa negara Timur Tengah lainnya:


- Dalam Surat Ali Imran ayat 133, Al-Qur’an di Indonesia umumnya tertulis وَسَارِعُوْا إلىمَغْفِرَةٍ (dengan huruf wawu), sedangkan di beberapa negara Timur Tengah umumnya tidak menggunakan wawu (سَارِعُوْإلى مَغْفِرَة)



- Dalam Surat Al-Hadid ayat 24, ada Al-Qur’an yang bertuliskan وَمَنْ يَتَوَلَّ فَإنَّ الله هُوَ الْغَنِيُّ الْحَميْدُ (dengan هُوَ) dan ada yang tanpa هُوَ



- Dalam Surat Al-Baqarah ayat 132, terdapat Al-Qur’an yang menggunakan وَوَصىَّ بِهَا, dan ada yang menggunakan وَاَوْصَى بِهَا (pakai alif setelah wawu)



Mushaf Riwayat Warsy (Kiri) dan Riwayat Hafsh (Kanan)

- Perbedaan pada tanda diakritikal (harakat), umpamanya huruf qof, pada mushaf riwayat Wars ditandai dengan satu titik (ف), pada mushaf rwiayat Hafsh menggunakan dua titik (ق)


Bukankah selama ini umat Islam mengatakan hanya ada satu Al-Qur’an; tidak ada satu huruf pun yang berbeda dalam Al-Qur’an di negara mana pun? Pernyataan offensive seperti ini memang sudah begitu lumrah dalam diskusi lintas agama. Lantas, bagaimana muslim seharusnya bersikap?


Pada dasarnya, merupakan hak setiap manusia untuk menguji sesuatu yang dianggap “benar”. Motif pengujian tersebut terbagi menjadi dua kategori, (1) positive purpose, dilandasi niat baik untuk menemukan kebenaran sejati atau saling bertukar perspektif, dan (2) negative purpose, sekadar ingin mencari-cari kesalahan, atau lebih parahnya menghina sesembahan/keyakinan orang lain.


Kembali ke bahasan utama, untuk menjawab pertanyaan di awal sekaligus sebagai pengantar tulisan ini, ada satu hal yang perlu digarisbawahi setiap muslim dalam menghadapi berbagai tuduhan atau pernyataan offensive (terlepas dari siapa dan motif di balik statement tersebut),⸺mengenai hal ini, Allah Ta’ala berfirman:


وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: "Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani". Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar." (QS. Al-Baqarah/2:111)


Ketika non-muslim mengajukan klaim atas sebuah kebenaran, dan dengan itu membuat mereka melancarkan tuduhan atau cacian terhadap Islam, maka, sesuai dengan tuntunan yang telah diberikan oleh Allah, seorang muslim sudah seharusnya bersikap elegan⸺dengan tidak mengandalkan kekerasan; tidak mencaci balik atau pun menghina sesembahan mereka, melainkan meminta bukti atas tuduhan-tuduhan tersebut; Allah menuntun kita untuk berdialog dan mengecek keabsahan argumentasi mereka.


Poin-poin Tuduhan dan Kesalahpahaman

Perlu diketahui bahwa munculnya statement yang menyatakan bahwa Al-Qur’an tidak autentik, sudah berubah, atau tidak lagi terjaga⸺bukan hanya terjadi sekarang, melainkan sudah terjadi di masa lampau dan akan terus berulang kembali di masa yang akan datang. Gratia Pello dan Christian Prince hanyalah dua contoh dari sekian banyak individu yang menampakkan sikap offensive terhadap Islam. Ada pun beberapa poin tuduhan maupun kesalahpahaman tersebut:


1. Berbagai versi Al-Qur’an membuktikan bahwa pemeluk Islam di seluruh dunia tidaklah mempunyai kitab suci yang seragam, hal ini terpaksa membuat muslim tidak bisa lagi berbangga dengan mengatakan Al-Qur’an adalah kitab yang paling autentik/terjaga.


2. Mushaf terdahulu⸺terutama mashahif utsmaniyyah⸺yang tidak memiliki titik dan harakat adalah penyebab terjadinya kerusakan dan tahrif (distorsi) terhadap Al-Qur’an;


3. Hafsh bin Sulaiman (rawi dari salah satu Imam Qira’at), adalah seorang pendusta berdarsarkan referensi Islam, dan hadits-hadits yang diriwayatkan olehnya dikategorikan sebagai hadists matruk (dibuang) dan dha’if (lemah). Dengan demikian, Al-Qur’an yang dijadikan pegangan oleh sebagian besar umat saat ini dapat dikatakan tidak autentik atau palsu, sebab diwartakan oleh seorang yang tidak dapat dipercaya.


Pada kesempatan ini, penulis tidak mendetail dalam membahas Qira’at Sab’ah, seperti menjabarkan biografi Imam tujuh beserta rawi atau thaariq-nya. Tulisan ini hanya akan membahas poin-poin penting mengenai Ilmu Qira’at dan yang berkaitan dengannya guna menjawab ketiga tuduhan/kesalahpahaman tersebut.


Pertama, Penggunaan Istilah “Berbagai Versi Al-Qur’an” Tidaklah Tepat

Diksi yang beredar terkait dengan Qira’at Sab’ah adalah “berbagai versi Al-Qur’an”. Istilah tersebut tentu mengagetkan sebagian kalangan muslim yang selama ini mengenal akan keseragaman kitab suci mereka. Di belahan bumi mana pun mereka pergi, pasti tidak akan mendapati perbedaan dalam teks atau bacaan Al-Qur’an walaupun hanya satu huruf.


Pada kenyataannya memang terdapat perbedaan di antara mushaf Al-Qur’an di dunia. Namun, istilah yang tepat untuk ini bukanlah “berbagai versi Al-Qur’an”, melainkan macam-macam bacaan/qira’at Al-Qur’an. Berikut tujuh Imam Qira'at beserta rawi-nya (murid) yang disinggung oleh Christian Prince, Gratia Pell, dkk.


1. Imam Nafi', rawinya: Qalun dan Warsy

2. Imam Ibnu Katsir, rawinya: al-Bazzi dan Qumbul

3. Imam Abu Amr al-Bashri, rawinya: ad-Duri dan as-Susi

4. Imam Ibnu 'Amir, rawinya: Hisyam dan Ibnu Dzakwan

5. Imam 'Ashim, rawinya: Hafsh dan Syu'bah

6. Imam Hamzah, rawinya: Khalaf dan Khallad

7. Imam al-Kisa'i, rawinya: Abul Harits dan ad-Duri


Kedua, Perbedaan Qira’at (Bacaan) Al-Qur’an Bukanlah ‘Aib yang Ditutup-tutupi

Riwayat bacaan Hafsh paling banyak digunakan oleh umat Islam di seluruh dunia

Berbagai macam bacaan Al-Qur’an atau dikenal dengan istilah qira’at Al-Qur’an[1] , agaknya masih asing bagi sebagian orang. Banyak yang tidak menyadari bahwa sedari kecil mereka hanya menggunakan satu “wajah” bacaan dari sekian banyak qira’at Al-Qur’an. Hal ini bisa dimaklumi, sebab memang bukanlah sebuah kewajiban bagi setiap muslim untuk menguasai ilmu Qira’at, melainkan merupakan fardhu kifayah.


Meskipun begitu, satu hal yang perlu dipahami⸺logikanya, orang yang memiliki ‘aib pasti akan berusaha sekuat-kuatnya untuk menutupi ‘aib-nya tersebut. Sedangkan, adanya berbagai macam qira’at dalam Islam tidak pernah disembunyikan dan ditutup-tutupi sejak zaman Nabi Muhammad ﷺ, karena memang bukanlah sebuah ‘aib, melainkan merupakan sesuatu yang bersifat tauqifi, semua qira’at Al-Qur’an merupakan wahyu yang turun dari Allah.


Ketiga, Beragam Qira’at Al-Qur’an yang Ada Saat Ini Merupakan Pengajaran Nabi dan Tidak Akan Pernah Berubah

Pertama-tama, terkait dengan multiple reading atau berbagai macam bacaan Al-Qur’an, ada satu kaidah yang kiranya penting diketahui. Sehingga, berbagai kesalahpahaman atau tuduhan sebagaimana dilakukan oleh Gratia Pello dan Christian Prince dapat diluruskan. Simak pernyataan Imam Asy-Syathibi berikut:

وَمَا لِقيَاسٍ فِى الْقِرَاءَةِ مَدْخَلُ فَدُوْنَكَ مَا فِيهِ الرِّضَا مُتَكَفِّلَا

“Tidak ada tempat pijakan/pintu bagi masuknya qiyas/ijtihad dalam Ilmu Qira’at. Terimalah dengan lapang dada apa yang ada pada qira’at.”


Berdasarkan pernyataan asy-Syathibi, dapat dirincikan beberapa poin:


a. macam-macam bacaan/qira’at Al-Qur’an merupakan tauqifi, yang mana keseluruhannya merupakan ketetapan yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad ﷺ. Tidak sama dengan (misal) tafsir Al-Qur’an yang merupakan hasil ijtihad seorang mufassir (ahli tafsir), yang apabila terdapat perbedaan penafsiran atau bahkan tidak sama dengan interpretasi jumhur, maka tetap bisa ditolerir (asal tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah).


Sederhananya, penafsiran manusia terhadap sebuah ayat dalam Al-Qur’an belum tentu sesuai dengan apa yang sebenarnya Allah maksud atau kehendaki dalam ayat tersebut, hal ini berbeda dengan qira’at mutawatir, adanya multiple reading merupakan sesuatu yang sudah pasti dikehendaki Allah; kesemuanya telah ditetapkan ketika Nabi ﷺ masih hidup.

Terdapat puluhan hadits shahih (penulis menyebutnya dengan hadits Sab’atu ahruf) yang menjelaskan bahwa banyaknya qira’at sudah ada sejak Al-Qur’an diturunkan dan bukan ciptaan Nabi Muhammad ﷺ, Sahabat, maupun para Tabi’in. Dalam tulisan ini akan dipaparkan dua buah hadits saja:


رَوَاهُ االْبُجَارِيُّ وَمُسْلِمٌ فِي صَحِيْحِهِمَا عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللّه عَنْهُمَا اَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُوُلُ اللّهَِ صلَّى اللّه عَلَيْهِ وسَلَّمَ: أقْرَأنِي جِبْريْلُ عَلَى حَرْفٍ فَرَا جَعْتُهُ فَلَمْ أزَل أَسْتَزِيْدُهُ وَيَزِيْدُنِي حَتّى انْتَهى عَلَى سَبْعَةِ اَحْرُفٍ

Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim di dalam kitab shahih mereka, dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu, sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda: Jibril telah membaca Al-Qur’an kepadaku dengan satu huruf, aku senantiasa mendesak dan berulangkali meminta agar ditambah, dan ia menambahnya sampai tujuh huruf.


رَوَى الْبُخارِيُّ و مُسْلِمٌ أيْضًا (وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِى) أَنَّ عُمَرَ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللّه عَنْهَُ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ فِي حَيَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَمَعْتُ لِقِرَاءَتِهِ فَإِذَا هُوَ يَقْرَؤُهَا عَلَى حُرُوفٍ كَثِيرَةٍ لَمْ يُقْرِئْنِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكِدْتُ أُسَاوِرُهُ فِي الصَّلَاةِ فَانْتَظَرْتُهُ حَتَّى سَلَّمَ فَلَبَبْتُهُ فَقُلْتُ مَنْ أَقْرَأَكَ هَذِهِ السُّورَةَ الَّتِي سَمِعْتُكَ تَقْرَأُ قَالَ أَقْرَأَنِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ لَهُ كَذَبْتَ فَوَاللَّهِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُوَ أَقْرَأَنِي هَذِهِ السُّورَةَ الَّتِي سَمِعْتُكَ فَانْطَلَقْتُ بِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقُودُهُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ عَلَى حُرُوفٍ لَمْ تُقْرِئْنِيهَا وَإِنَّكَ أَقْرَأْتَنِي سُورَةَ الْفُرْقَانِ فَقَالَ يَا هِشَامُ اقْرَأْهَا فَقَرَأَهَا الْقِرَاءَةَ الَّتِي سَمِعْتُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ اقْرَأْ يَا عُمَرُ فَقَرَأْتُهَا الَّتِي أَقْرَأَنِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ

Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim (lafazh hadits oleh Bukhari), bahwa Umar bin Khatthab berkata: Pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, aku pernah mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam membacakan surat Al Furqan, maka aku pun mendengarkan bacaannya dengan seksama. Dan ternyata ia membacanya dengan huruf (cara bacaan) yang begitu banyak, yang Rasulullah ﷺ sendiri belum pernah membacakannya kepadaku, maka aku pun ingin segera menyergapnya di dalam shalat, namun aku menunggunya hingga selesai salam dan langsung menarik leher bajunya seraya bertanya, "Siapa yang membacakan surat ini padamu?" Ia menjawab, "Rasulullah ﷺ yang membacakannya padaku." Maka kukatakan padanya, "Kamu telah berdusta. Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah ﷺ telah membacakan surat yang telah aku dengar ini padaku." Maka aku pun segera membawanya menghadap Rasulullah ﷺ. Aku berkata, "Wahai Rasulullah ﷺ, aku mendengar orang ini membaca surat Al-Furqan dengan cara baca yang belum pernah Anda ajarkan padakku. Dan sungguh, Anda telah membacakan surat Al-Furqan padaku." Akhirnya beliau bersabda: "Wahai Hisyam, bacalah surat itu." Maka Hisyam pun membaca bacaan yang telah aku dengar sebelumnya. Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: "Seperti inilah surat itu diturunkan." Kemudian beliau bersabda lagi: "Bacalah wahai Umar." Lalu aku pun membacanya sebagaimana yang telah diajarkan beliau. Kemudian beliau bersabda: "Seperti ini pulalah ia diturunkan." Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda lagi: "Al-Qur`an diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah mana yang engkau anggap mudah.”


Dari puluhan penafsiran mengenai Sab’atu Ahruf, pendapat Abul Fadhl ar-Razi dianggap yang paling mendekati kebenaran dan masyhur. Keseluruhan Al-Qur’an dari awal sampai akhir tidak akan keluar dari tujuh perbedaan berikut:


1. Perbedaan dalam bentuk isim seperti mufrad-tatsniyah-jamak

2. Perbedaan bentuk fi’il seperti madhi-mudhari-‘amr

3. Perbedaan i’rab seperti rafa’-nashab-jazm

4. Perbedaan pada bentuk naqis dan ziyadah

5. Perbedaan pada bentuk taqdim dan ta’khir

6. Perbedaan dalam bentuk tabdil

7. Perbedaan dialek seperti: imalah, taqlil, idgham, izhar, dll.

b. siapa pun tidak akan bisa mengubah⸺menambah atau mengurangi⸺macam-macam qira’at Al-Qur’an yang telah ditetapkan tersebut. Pernyataan ini tentu bukanlah omong kosong belaka, sebab sudah terlalu banyak bukti yang dimiliki oleh umat Islam. Hal ini tidak lepas dari jasa Salafush shalih dan para ulama setelahnya⸺yang betul-betul menjaga keautentikan Al-Qur’an⸺baik secara bacaan maupun tulisan. Sehingga sampai saat ini, kalamullah tetap terjaga dari segi bacaan melalui sanad yang mutawatir, maupun juga teks Al-Qur’an dalam mashahif melalui Rasm Utsmany. Sebagaimana jaminan-Nya terhadap umat Nabi Muhammad ﷺ:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr/15:9)

Tiga bukti paling sederhana yang bisa didapati saat ini terkait dengan begitu terpeliharanya Al-Qur’an: (1) sistem isnad dalam pengajaran qira’at, yang mana metode ini hanya dapat ditemukan dalam Islam, (2) banyaknya penghafal Qur’an maupun ahli qira’at, merekalah yang sudah tentu paling dulu mengetahui apabila menemukan teks/bacaan Qur’an di luar kelaziman (berbeda dengan apa yang telah ditetapkan dalam Ilmu Qira’at maupun dalam Rasm Utsmany), (3) Semua Qur’an yang beredar saat ini dapat diverifikasi kesesuaiannya dengan kodeks/manuskrip mashahif utsmaniyah yang mencakup keseluruhan ahrufus sab’ah/qira’at mutawatirah; [2]


c. keharusan untuk berlapang dada⸺menerima qira’at sab’ah sebagai sesuatu yang bersifat tauqifi⸺bukanlah tanpa alasan. Sab’atu ahruf tidak lain menunjukkan bahwa Islam sangat mengutamakan kemudahan bagi para pemeluknya, bagi mereka yang mendalami tafsir dan Qira’at Al-Qur’an, pasti akan berkesimpulan bahwa keberadaan macam-macam cara baca atau qira’at telah memberikan dampak yang positif bagi semua lini kehidupan umat manusia. Baik dipandang dari segi poitik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. [3]


Keempat, Naskah Al-Qur’an di Masa Nabi hingga Mashahif Utsmaniyyah Mencakup Keseluruhan Ahrufus Sab’ah


Fase pertama, Al-Qur’an telah wujud dalam bentuk tulisan (secara lengkap) pada masa Rasulullah ﷺ masih hidup, hal ini dilandasi oleh beberapa hadits shahih: [4]


1. Hadits tentang larangan bepergian dengan membawa Al-Qur’an

Imam Muslim dan Bukhari (muttafaq alaihi) meriwayatkan dalam shahih-nya, bahwa Rasulullah bersabda:

لاَ تُسَافِرُوْا بِاالْقُرْآنِ إلَى أَرْضِ الْعَدُوِّ لئَلا يَناَلَهُ

“Janganlah kalian bepergian dengan membawa Al-Qur’an menuju bumi musuh, supaya musuh tidak mengambilnya.”


2. Hadits ats-Tsaqolain

Diriwayatkan oleh Imam Muslim berupa hadits yang di mana sebagian ulama menganggapnya sebagai hadits mutawatir. Rasulullah bersabda:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدِي كِتابَ اللّهَِ وَعِتْرَتِي أهْلَ بَيْتِي أُذَكِّرُكم الله فِي أَهْلِ بَيْتِي

“Telah aku tinggalkan kepada kalian perkara yang apabila kalian berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan tersesat sepeninggalku yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan keturunanku, ahlu bait-ku, aku mengingatkan kalian taat kepada Allah mealaui ahlu baitku.[5]


3. Surat Rasulullah kepada ‘Amr bin Hazm:

لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إلاَّ طَاهِرٌ

“Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci,” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Malik, an-Nasa’i dan Ibnu Majah. Mengindikasikan Al-Qur’an dalam bentuk fisik.


Di masa Nabi ﷺ, Al-Qur’an telah lengkap ditulis di atas suhuf atau shahifah yang mencakup Ahrufus Sab’ah, hal ini didasarkan pada dua hal: (1) lebih dari dua puluh hadits yang membuktikan tentang wujudnya Sab’atu ahruf di masa Nabi ﷺ, dan (2) substansi dalam kodeks/mushaf yang dibuat di masa kepemimpinan Utsman membuktikan bahwa Qur’an yang ditulis di masa Rasul ﷺ mencakup Ahrufus Sab’ah. Mengapa? Sebab, Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa mushaf Abu Bakar adalah sumber dari Mashahif Utsmaniyah, [6] sementara Khalifah Abu Bakar (dengan menugaskan Zaid bin Tsabit) tidak mengambil selain dari suhuf-suhuf para Sahabat yang menulis langsung depan Rasulullah ﷺ serta yang kuat hafalannya.


Sebagai bukti tambahan bahwa Al-Qur’an telah ditulis di atas lembaran-lembaran (suhuf) di masa Nabi ﷺ: Dalam al-Itqan (salah satu kitab induk dalam tema ‘Ulumul Qur’an), Imam as-Suyuthi menyebutkan beberapa riwayat tentang media yang digunakan dalam penulisan Al-Qur’an di masa Nabi. Dari beberapa riwayat tersebut, terdapat redaksi yang menyebutkan bahwa Al-Qur’an ditulis di atas riqo’, yang merupakan bentuk plural (jamak) dari ruq’ah, yaitu lembaran-lembaran: Terkadang kulit, dedaunan, atau kertas.

Zaid bin Tsabit meriwayatkan:

كُنَّا عِنْدَ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم نُؤَلَّفُ الْقُرْآنَ مِنَ الرِّقَاعِ

“Kita berada di samping Rasulullah menyusun Al-Qur’an dari riqo’.” Imam Al-Hakim berkata: “Ini hadits shahih sesuai dengan syarat rawi-rawi Bukhori-Muslim namun tidak diriwayatkan oleh kedua Imam tersebut.” [7]


Para ulama menjelaskan tentang begitu ketatnya penjagaan bacaan dan penulisan Al-Qur'an: (1) Imam as-Suyuthi: Zaid bin Tsabit tidak akan menerima dari seorang pun sesuatu dari Al-Qur’an kecuali orang tersebut sudah terbukti kuat hafalannya dan pernah menulisnya langsung di hadapan Rasulullah ﷺ, juga oleh (2) Ibnu Hajar al-‘Asqolani sebagaimana dikutip dalam al-Itqon, bahwa mengenai tafsiran syahidain (dua saksi) manakala disebutkan dalam riwayat-riwayat. Yang dimaksud tidak lain adalah: dihafalkan dan dituliskan di depan Rasululllah ﷺ

Sedikit catatan, dari berbagai penjelasan ulama dan dalil-dalil yang telah disebutkan tadi, bisa ditarik satu kesimpulan mengenai definisi ‘suhuf/shahifah’ dalam konteks penulisan kalamullah di fase pertama, yakni Al-Qur’an yang telah ditulis seutuhnya namun belum dalam bentuk master volume atau belum dijilid di antara dua sampul.[9] Sebagimana dijelaskan oleh Imam as-Suyuthi dalam al-Itqan dan pernyataan Ali¸ yang akan dijelaskan di fase selanjutnya.


Fase kedua, penulisan Al-Qur’an berlanjut ke masa Abu Bakar radhiyallahu’anhu yang dilatarbelakangi oleh kekhawatiran beliau akan musnahnya sebagian Al-Qur’an apabila tidak segera dilakukan penyusunan kalamullah dalam satu jilid, mengingat banyaknya Sahabat yang menjadi syuhada (baca: wafat) dalam pertempuran al-Yamamah.

Langkah yang diambil oleh Khalifah Abu Bakar ini memperkuat bukti terpeliharanya Al-Qur’an; bukti bimbingan Allah Ta’ala kepada para Sahabat dalam memelihara keautentikan dan menjaga eksistensi Al-Qur’an melalui penyusunan kalamullah di antara dua sampul. Sebagaimana yang termaktub daam kitab at-Tahbir fii ilmit Tafsir, berkaitan dengan besarnya jasa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, Imam as-Suyuthi berkata: Imam Waki’ meriwayatkan dari as-Sudiyy dari Abdi Khoir dari Ali, beliau berkata: [10]


أَعْظَمُ النَّاسِ أجْرًا فِي الْمصَاحِفِ أبُوْ بَكْرٍ, كَانَ أَوَّلَ مَنْ جَمَعَ مَا بَيْنَ اللَّوْحَيْنِ. أي فِي خلافته

“Orang yang paling banyak pahalanya dalam mengurusi mushaf adalah Abu Bakar, beliau adalah orang pertama kali yang mengumpulkan Al-Qur’an di antara dua sampul (di masa khilafahnya).”


Pernyataan Ali radhiyallahu ‘anhu yang dikutip oleh Imam as-Suyuthi di atas tidakah bertentangan dengan dalil yang menunjukkan wujudnya Al-Qur’an di atas suhuf secara lengkap di fase pertama. Ali bin Abi Thalib mengatakan: مَا بَيْنَ اللَّوْحَيْنِ, ini mengindikasikan bahwa pada saat itu belum ada mushaf atau naskah Al-Qur’an yang dibukukan di antara dua sampul. [11] Sekali lagi perlu digarisbawahi, Al-Qur’an telah ditulis seutuhnya sejak zaman Nabi Muhammad ﷺ, hanya saja belum disatukan (di antara dua sampul) dan surah-surah yang ada juga masih belum tersusun. [12] Tidak ada perbedaan antara mushaf Abu Bakar dengan yang telah ditulis di fase pertama (masa Rasulullah ﷺ) dari segi ke-Qur’anan-nya⸺termasuk di dalamnya Sab’atu ahruf⸺yang berbeda hanyalah dari segi keindahan, seperti (1) bentuknya lebih besar, (2) tulisan yang lebih jelas, dan (3) artistik yang indah. Hal ini tidak lain ditujukan dalam rangka meluaskan penyebaran Al-Qur’an.

Fase ketiga, di masa pemerintahan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, daerah kekuasaan umat Islam sampai ke Azerbaijan dan Armenia. Tidak dapat dipungkiri, dengan semakin banyaknya kalangan muslim non-Arab, mengakibatkan adanya perbedaan dalam penyebutan huruf Al-Qur’an, hal ini disebabkan semua dialek Arab sama susahnya bagi mereka. [13]


Di samping itu, luasnya ruang lingkup pemerintahan Islam juga menjadi penyebab semakin banyaknya terjadi perselisihan akibat perbedaan bacaan/qira’at. Jika kita kembali ke masa pasca Rasulullah wafat, pengumpulan suhuf Al-Qur’an bukan hanya dilakukan oleh Abu Bakar saja, akan tetapi dilakukan pula oleh Sahabat-sahabat yang lain. Yang di mana seiring waktu dan semakin meluasnya daerah kekuasaan kaum muslimin, semakin banyak pulalah perbedaan bacaan yang terjadi akibat beragam mushaf (masing-masing kelompok mengacu ke mushaf tersendiri), dan pada akhirnya berujung pada perselisihan⸺di mana sekelompok orang menganggap bacaaannya lebih baik daripada kelompok yang lain.


Terdapat beberapa riwayat yang dapat dijadikan pegangan mengenai latar belakang munculnya inisiatif Khalifah Utsman dalam melakukan penyalinan Al-Qur’an untuk kedua kalinya. Beberapa khabar tersebut memiliki substansi sebagai berikut:


1. Terjadinya perselishan di antara Sahabat yang mengajarkan Qira’at kepada anak-anak. Sampai-sampai perselisihan tersebut didengar oleh Utsman, dan berkata, “Di sisiku (dekatku) kalian berselisih dalam hal membaca Al-Qur’an, bagaimana dengan yang jauh dariku? Pendapat ini datang dari Ibnu Jarir dengan riwayat dari Abu Qalabah. [14]


2. Dikarenakan perselisihan yang berujung pada pengkafiran satu sama lain. Hudzaifah bin al-Yamani mengingatkan Khalifah Utsman pada tahun 25 H, [15] dengan mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, aku melihat banyak orang saling menyalahkan satu sama lain ketika aku mengikuti perang pembebasan Armenia. Aku melihat penduduk Syam membaca qiraahUbay bin Ka’ab. Abdullah bin Mas’ud kemudian datang dan membaca yang tidak pernah didengar oleh penduduk Syam, dan di antara mereka kemudian mengkafirkan yang lain.” Pendapat ini terdapat di dalam Fathul Baari, karya Imam Ibnu Hajar al-Asqolani, dengan riwayat dari ‘Imarah bin Gaziyah.[16]


3. Dalam riwayat al-Bukhari dan Anas bin Malik, disebutkan bahwa terjadi perbedaan cara membaca Al-Qur’an di kalangan prajurit Islam yang sedang berjihad di kawasan Azerbaijan dan Armenia. Tiap pasukan membaca sesuai dengan tuntunan Sahabat yang mengajar di kampung halaman mereka. Prajurit dari Syria membaca Al-Qur’an sesuai dengan pengajaran Sahabat Nabi di Syria. Sedangkan, pasukan muslim dari Irak membaca sebagaimana yang dicontohkan oleh Sahabat yang mengajarkan Qira’at di Irak. Di antara generasi Tabi’in selalu ada yang menganggap bacaannya paling benar, sedangkan bacaan/qira’at yang lain salah.[17]


Terkait dengan Mashahif Utsmaniyyah, mayoritas ulama berpendapat bahwa mushaf Abu Bakar adalah sumber dari Mashahif Utsmaniyyah, dan para ulama sepakat bahwa mushaf Abu Bakar mencakup bacaan-bacaan Al-Qur’an yang diturunkan dengan Ahrufus sab’ah yang datangnya mutawatir dari Nabi . Pengumpulan naskah Al-Qur’an untuk kedua kalinya dilakukan oleh Khalifah Utsman tidak lain dengan tujuan menyatukan umat Islam pada satu mushaf yang sama. Utsman membakar semua mushaf pribadi yang berbeda dengan miliknya, yang mana dengan itu tidak akan ada lagi perbedaan perihal mushaf yang dipegang oleh kaum muslimin; tidak ada lagi saling menyalahkan atau menganggap bacaannya yang paling benar; tidak ada lagi fanatisme terhadap satu mushaf atau bacaan⸺semuanya berkiblat ke satu mushaf induk yang di dalamnya mencakup Ahrufus Sab’ah.[18]


Demikianlah ketiga fase di mana Al-Qur’an ditulis, dikumpulkan, disalin, lalu kemudian didistribusikan ke daerah kekuasaan atau kawasan penyebaran Al-Qur’an. Munculnya inisiatif dan kehati-hatian para Sahabat dalam melakukan kodifikasi merupakan salah satu bukti jaminan Allah akan terpeliharanya Al-Qur’an, sehingga dalam ketiga fase tersebut shahifah dan mushaf yang ditulis tetap dalam koridor Sab’atu Ahruf.


Kelima, Nihilnya Titik dan Harakat dalam Paleografi Arab Tidak Jadi Penyebab Kerusakan atau Tahrif (Distorsi) terhadap Al-Qur’an

Manuskrip mushaf Utsman di Museum Topkapi, Istanbul

Setelah perselisihan dikarenkaan perbedaan bacaan, susunan, dan rasm oleh berbagai mushaf dituntaskan dengan membuat satu mushaf induk, belakangan muncul pertanyaan tentang kevalidan bacaan Al-Qur’an melalui Mashahif Utsmaniyah di zaman dulu, serta keautentikan mushaf di masa selanjutnya yang ditulis berdasarkan rasm utsmany.


Jika saat ini masih banyak kaum muslimin yang kesulitan dalam membaca teks Arab gundul di dalam kitab kuning, maka bagaimana jadinya jika diminta untuk membaca Mashahif Utsmaniyyah yang lebih gundul daripada itu, jangankan tanda diakritikal (harakat), i’jam/nuqat (titik) pun tidak ada sama sekali. Ini bisa dimaklumi, sebab paleografi Arab memang belum mengenal syakl (tanda baca), hal inilah yang kemudian menjadi sumber kesalahpahaman atau tuduhan non-muslim terhadap Islam.


Untuk menjawab tuduhan tersebut, bahasan pada bagian ini tidak akan keluar dari (1) Rasm Utsmany. yaitu tata cara penulisan huruf dan kalimat-kalimat Al-Qur’an sesuai dengan metode yang ditetapkan dalam mushaf Utsmany pada masa Kepemimpinan Utsman,[19] dan (2) strategi yang digunakan Ustman dalam mendistribusikan salinan mushaf-nya.


Rasm atau pola penulisan yang dipilih oleh Utsman untuk diterapkan dalam mushaf-nya tidaklah berbeda dengan rasm yang digunakan oleh para penulis wahyu Rasulullah , sebagaimana dijelaskan sebelumnya (lihat bag. ketiga fase pertama, pada bahasan penulisan Al-Qur’an di masa Nabi ). Mengapa dinamakan rasm Utsmany? tidak lain sebagai penanda penyebaran salinan mushaf Al-Qur’an di masa kepemimpinan Utsman.


Lalu, bagaimana Khalifah Utsman menjaga salinan mushaf yang disebarkannya ke berbagai daerah tersebut agar sesuai dengan bacaan yang diajarkan Rasul ﷺ; bagaimana ia mencegah terjadinya penyelewengan-penyelewengan bacaan terhadap mushaf Al-Qur’an yang nihil akan nuqat (titik)?


1. Dengan membakar mushaf pribadi yang berbeda dengan miliknya


Az-Zuhri berkata (bahwa) Anas bin Malik meriwayatkan:


“. . .Mengirimkan setiap pasukan tentara muslim dengan satu mushaf, lalu Utsman menginstruksikan mereka agar membakar semua naskah mushaf yang berbeda dengan mushaf-nya (Utsman).”[20]


Disebutkan dalam Fathul Baari, karya Ibnu Hajar al-Asqolani, terdapat riwayat lain yang menyatakan bahwa Utsman radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk membakar atau merobek-robek semua naskah yang terdahulu.[21] Tujuan dibakarnya mushaf pribadi yang berbeda dengan milik Utsman, selain untuk mencegah timbulnya perpecahan, juga sebagai betnuk kehati-hatian Utsman apabila terdapat mushaf lain yang masih mengandung ayat-ayat yang telah di-mansukh atau pun permasalahan lainnya. Mengenai adanya ayat yang dihapus beserta kesalahpahaman terhadapnya akan dibahas dengan judul tesendiri in syaa Allah.


2. Utsman memberi perintah agar tidak membaca sesuatu yang bertentangan dengan skrip Mushaf Utsmani.


Perintah Ustman ditandai dengan pendistribusian Mashahif Utsmaniyah beserta Qari’ (pembaca Al-Qur’an).[22]


- Zaid bin Tsabit ke Madinah

- Abdullah bin as-Sa’ib ke Makkah

- al-Mughirah bin Shihab ke Suriah

- Amir bin Abd Qais ke Basra

- Abdur-Rahman as-Sulami ke Kufah


Mengenai hal ini, Abdul Fattah al-Qadhi berkata:


“. . .Pengiriman oleh seorang ulama dengan sebuah mushaf, menunjukkan bahwa bacaan yang betul adalah yang berdasarkan sistem belajar secara langsung dengan guru yang jalur sanad-nya (transmisi) sampai ke Nabi Muhammad , tidak hanya bergantung kepada skrip atau ejaan yang umum dipakai.”[23]


Pengiriman qari’ dengan tiap salinan mushaf Utsman menjawab tuduhan orientalis yang menyatakan bahwa kodeks atau manuskrip Utsman mengalami penyelewengan dalam hal bacaan dikarenakan paleografi Arab yang benar-benar gundul tanpa titik dan tanda diakritikal. Para orientalis tersebut lupa, bahwa selain dengan teks, umat Islam mengandalkan pengajaran langsung oleh guru yang sanad atau transmisinya bersambung ke Rasulullah .


Keeenam, Jalur Transmisi (Sanad) Qira’at yang Bersambung ke Rasulullah ﷺ sebagai Bukti Terpeliharanya Al-Qur’an dari Penyelewengan Bacaan

Mushaf yang dipakai oleh umat Islam saat ini tidak keluar dari kaidah-kaidah penulisan rasm Utsmany.[24] Dalam satu rasm tersebut dapat diaplikasikan berbagai macam riwayat bacaan (qira’at). Hal ini terus-menerus penulis tegaskan, sebab sebagian orang masih beranggapan bahwa Mashahif Utsmaniyah hanya mencakup satu Ahruf saja, dan hal ini sudah dibuktikan keliru oleh jumhur ulama dengan dalil-dalil yang lebih kuat. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya (di bagian ketiga), mayoritas ulama berpendapat bahawa Mashahif Utsmaniyah mencakup keseluruhan Ahrufus sab’ah.


Lalu, mengapa saat ini kita menemukan mushaf Al-Qur’an yang berbeda satu sama lain, baik dari segi syakl (tanda baca), maupun bacaan,⸺sebagaimana yang diperlihatkan oleh Gratia Pello, Christian Prince, dkk. dalam videonya?


1. Perbedaan tersebut terjadi pada sisi riwayat bacaan (qira’at), namun tetap sama dalam penerapan rasm utsmany


Istilah Qira’at dan kriterianya baru muncul dua abad setelah Rasulullah mengutarakan kalimat Sab’atu ahruf. Perlu diperhatikan, sabda Rasulullah tentang, “Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf,” menununjukkan bahwa Al-Qur’an dapat dibaca dengan beberapa cara, bukan hanya tujuh,[25] sedangkan qira’at sab’ah adalah qira’at/bacaan yang sanad-nya mutawatir.


Adanya perbedaan di antara mushaf-mushaf yang ditemukan hari ini, tidaklah keluar dari pengajaran Nabi . Semuanya tetap berpegang pada kaidah-kaidah rasm utsmany. Namun, bukan berarti setiap mushaf Utsmany waktu itu mencakup keseluruhan Ahrufus Sab’ah, melainkan ahrufus Sab’ah terpencar-pencar dalam Mashahif Utsmaniyah yang berjumlah enam salinan itu (jumahnya diperselisihkan oleh ulama). Contohnya:


- Qira’at: وَوَصَّى بِهَا, Surat Al-Baqarah, hanya terdapat dalam mushaf Ustmani yang dikirim ke Syam dan Madinah. Sedang mushaf yang dikirim ke selain dua daerah tersebut bertuliskan: وَاَوْ صَى بِهَا, (pakai alif setelah wawu)


- Qira’at: سَارِعُوْإلى مَغْفِرَةٍ Surat Ali Imran (tanpa wawu sebelum sin), terdapat dalam salinan mushaf yang dikirim ke Madany dan Syam. Sedang yang dikirim ke Basrah, Kufah, Makkah tertulis: وَسَارِعُوْا إلىمَغْفِرَةٍ, (pakai wawu sebelum sin)


- Qira’at: وَتَوَكَّلْ عَلَى الْعَزِيزِالرَّحِيْمِ Surat As-Syu’ara, sebagian Mashahif Ustmaniyah menggunakan wawu, pada sebagiannya lagi ditulis: فَتَوَكَّلْ عَلَى الْعَزِيزِالرَّحِيْمِ (dengan fa’)


- Qira’at: وَمَنْ يَتَوَلَّ فَإنَّ الله هُوَ الْغَنِيُّ الْحَميْدُ Surat Al-Hadid, sebagian Mashahif Utsmaniyah menggunakan “huwa” ( هُوَ), pada sebagiannya lagi ditulis: وَمَنْ يَتَوَلَّ فَإنَّ الله الْغَنِيُّ الْحَميْدُ (tanpa huwa)


Ahrufus Sab’ah yang tersebar pada salinan-salinan mushaf Utsmany tersebut adalah bukti bahwa berbagai macam bacaan/qira’at Al-Qur’an yang ditemukan saat ini bukanlah ciptaan manusia, melainkan berasal dari wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad (tauqifi). Dengan demikian, terjawablah tuduhan bahwa kitab suci umat Islam tidak terjaga sebab oleh adanya pelbagai versi Al-Qur’an, dan tidaklah mereka menggunakan diksi “berbagai versi Al-Qur’an” tersebut selain untuk menggiring dan menjebak umat Islam yang awam.

Mushaf Riwayat Warsy (Kiri) dan Hafsh (kanan). Perbedaan datang dari sisi riwayat bacaan, namun tetap sama dalam rasm

2. Terjaganya Qira’at Al-Qur’an dengan Sistem Isnad (Jalur Transmisi) yang Bersambung ke Rasulullah


Umat Islam dianugerahi sistem isnad untuk menjaga keautentikan sebuah pengajaran, yang mana tidak dapat ditemukan dalam tradisi pendidikan agama lain; serta belum ada yang mampu menyaingi metode pendidikan melalui “jalur transmisi” tersebut dalam sejarah literatur.[26]


Sebagai bukti tambahan tentang begitu terpeliharanya Al-Qur’an, khususnya dalam hal bacaan/qira’at,⸺dalam tulisan sederhana ini akan disertakan sanad (ijazah) kitab Qira’at asy-Syathibiyyah dari guru kami di Institut Perguruan Tinggi Ilmu Qur’an (PTIQ) Jakarta, DR. Muhsin Salim, MA.[27]


Teks di atas menunjukkan bahwa bacaan Al-Qur’an beliau memiliki jalur transmisi (sanad) yang sampai ke Imam Qira'at dan Rasulullah melalui thaariq asy-Syathibiyyah.[28]


Ketujuh, Imam Hafsh Rahimahullah Diakui sebagai Ahli dalam Bidang Qira’at namun Tidak dalam Ranah Hadits


Kebanyakan mushaf Al-Qur’an yang tersimpan dalam rumah umat Islam di seluruh dunia ditulis dan dibaca dengan riwayat Hafsh bin Sulaiman bin al-Mughirah bin al-Asadi al-Kufi [w. 180 H]), yang sekaligus merupakan rawi dari salah satu Imam Qira’at, yakni ‘Ashim bin Abi an-Najud (w. 127/128 H).


Beberapa orang melancarkan tuduhan terhadap Al-Qur’an dengan memanfaatkan predikat dhaif kepada Hafsh yang diberikan oleh ulama jarh wa ta’dil, yang mana komentar ulama tersebut memang dibutuhkan guna mengecek keautentikan sebuah hadits dari sisi sanad (jalur transmisi). Alhasil, orang-orang yang salah paham atau pahamnya salah ini mengatakan bahwa Al-Qur’an yang ada sekarang adalah palsu sebab diriwayatkan oleh seorang yang dha’if.


Perlu dipahami terlebih dahulu, bahwa Hafsh bin Sulaiman tidaklah mendalami ilmu hadits, seluruh hidupnya didedikasikan untuk qira’at Al-Qur’an. Maka, maklum saja apabila ada yang menyatakan bahwa hadits beliau dha’if (lemah) atau matruk (ditolak), sebab beliau memang bukan ahli di bidang itu. Sebagai contoh, berikut penilaian Imam al-Bukhari, Muslim, dan an-Nasa’i rahimahumullah terhadap Hafsh:


". . .وقال البخاري تركوه, وقال مسلم متروك, وقال النسائي ليس بثقة ولا يكتب حديثه وقال في موضع آخر متروك الحديث. . ."

“Imam al-Bukhari berkata: mereka meninggalkannya; Imam Muslim berkata: Ditolak; Imam an-Nasa’i berkata: Tidak dapat dipercaya dan ridak ditulis hadits-nya, dan dia berkata di tempat lain: Hadits-nya ditolak.” (Ibnu Hajar al-'Asqolani, Tahdzibut Tahdzib), Vol.2.


Pihak yang berlebihan dalam menuduh Al-Qur’an palsu sebab ditolaknya hadits yang diriwayatkan Hafsh⸺jika mereka mau berpikir secara kritis⸺tanpa terburu-buru mengambil kesimpulan guna menyerang Islam, maka sudah pasti akan terlebih dahulu memahami kapasitas manusia dalam menguasai ilmu pengetahuan. Seorang dokter mungkin tidak ahli dalam bidang obat-obatan, sebaliknya, seorang apoteker mungkin tidak ahli dalam farmakologi kedokteran. Analogi ini diambil berdasarkan pernyataan Imam Syafi’i rahimahullah:

أنْتُمْ الصَّيَّادلة, و نَحْنُ الأطِبَّاء

“Kalian (ahli hadits) adalah para apoteker, sedangkan kami (ahli fiqh) merupakan dokternya”


Jika di antara ahli hadits dan fiqh bisa seperti itu, maka demikian pula di ranah qira’at dan hadits. Bila Hafsh bin Sulaiman lemah dalam hadits dan kuat di qira’at, maka Sulaiman bin Mihron rahimahullah kebalikannya, yang merupakan seorang ulama besar dalam bidang hadits, namun dalam ilmu Qira’at dinilai syadz, yang artinya riwayat bacaan beliau tidak boleh dinyatakan dan tidak wajib di-i’tiqad-kan sebagai Al-Qur’an.[29]


Mereka para pembenci Islam telah menemukan komentar ulama yang menyatakan bahwa Hafsh adalah pendusta, dan tidaklah mereka gunakan khabar tersebut untuk mengelabuhi umat Islam yang awam⸺seperti misal pernyataan Yahya bin Ma’in rahimahullah (w. 223 H)


ثناأحمد بن محمد البغدادي [قال]: سمعت يحي بن معين يقول: كان حفص بن سليمان وأبو بكر بن عياش من أعلم الناس بقراءة عاصم, وكان حفص أقرأ من أبي بكر, وكان ابو بكر صدوقاً, وكان حفص كذَّاباً

“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad al-Baghdadi, ia berkata: Aku mendengar Yahya bin Ma’in berkata: ‘Hafsh bin Sulaiman dan Abu Bakar bin ‘Ayyasy (Syu’bah) merupakan orang yang paling menguasai qira’at Ashim; Hafsh lebih baik daripada Abu Bakr dalam hal ini (qira’at Al-Qur’an); Abu Bakr adalah seorang yang jujur, Hafsh adalah seorang pendusta" (Ibnu ‘Uday al-Jurjani, al-Kamil fi Du’afa al-Rijal [Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut], Vol.3:268)


Perlu diketahui bahwa komentar Yahya bin Ma’in rahimahullah di atas tidaklah autentik, sebab diriwayatkan oleh seorang yang tidak diketahui (unknown), yakni Ibnu Mihraz Ahmad bin Muhammad al-Baghdadi. Dalam ilmu hadits, hal ini disebut dengan istilah majhul, yang secara bahasa berarti tidak diketahui jati diri atau sifatnya.[29]


Terdapat khabar lain yang lebih autentik daripada yang diwartakan oleh Ibnu Mihraz, dan semuanya tidak menggunakan diksi “pendusta”:


قال حنبل بن إسحاق - عن أحمد: . . وروي الحسين بن حبان, عن ابن معين قال: هو أَصحُّ قراءة من أبي بكر, وأبو بكر أثقو منه

“Hanbal bin ishaq berkata, dari Ahmad: . . . Diriwayatkan oleh al-Hussain bin Hibban, bahwa Ibnu Ma’in berkata: (mengenai Hafsh bin Sulaiman al-Kufi) ini adalah bacaan yang lebih akurat/benar daripada bacaan Abu Bakr (Syu’bah), dan Abu Bakr lebih dapat dipercaya dari dia (Hafs)." (adz-Dzahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal [Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut], Vol.2:320)

. . .ثنا الليث بن عبيدة, قال: سمعت يحي بن معين يقول: أبو عمر البزاز صاحب القراءة ليس بثقة, هو أصح قراءةً من ابي بكر بن عياش وأبو بكر أوثق منه

“Telah menceritakan kepada kami al-Laits bin ‘Ubaidah, ia berkata: Aku mendengar Yahya bin Ma’in berkata: Abu ‘Umar a-Bazzaz (Hafsh) seorang pembaca/periwayat qira’at Al-Qur’an⸺tidak tsiqah (tidak terpercaya), (namun) bacaannya lebih tepat/akurat daripada Abu Bakar bin Ayyasy, dan Abu bakar lebih dapat dipercaya daripada dia (Hafsh).” (Ibnu ‘Uday al-Jurjani, al-Kamil fi Du’afa al-Rijal [Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut], Vol.3:268)


Dapat dilihat perbedaan antara komentar Yahya bin Ma’in yang diwartakan oleh al-Hussain bin Hibban dan al-Laits bin ‘Ubaidah, di situ menggunakan kata ليس بثقة (tidak tsiqah atau tidak terpercaya), sedangkan riwayat yang majhul dari Ibnu Mihraz menggunakan kata كذَّاباً (berdusta). Jika dianalisa, tentu saja komentar tanpa diksi “pendusta” yang lebih dapat dijadikan pegangan, sebab lebih autentik.


Bagaimana jika ternyata khabar dari Ibnu Mihraz lebih benar? Hal ini tidak akan merubah apa pun, sebab كذباً tidak selalu bearti kedustaan, melainkan dapat juga bermakna “kesalahan”

قال ابن حبان في الثقات :" كان من الثقات كان يخطيء , وأهل الحجاز يسمون الخطأ كذباً

“Ibnu Hibban berkata dalam ats-Tsiqat: Beberapa dari mereka yang tsiqat (terpercaya) dapat melakukan kesalahan, dan orang-orang Hijaz menamakan kesalahan itu dengan “kedustaan”.


Begitu juga dijelaskan dalam leksikon (kamus) Arab-Inggris Edward William Lane (w. 1876 M), yakni seorang ilmuwan Inggris yang mendalami sastra dan bahasa Arab.

“Dia mengatakan hal yang salah secara tidak sengaja; melakukan kesalahan atau eror. Verb (kata kerja) tersebut digunakan dalam pengertian ini oleh orang-orang Hijaz, dan orang Arab lainnya mengikuti mereka dalam hal ini.”


Hafsh mendapatkan pujian dan pengakuan ulama akan penguasannya dalam bacaan Al-Qur’an. al-Khatib al-Baghdadi dan Abu al-Husain bin al-Munadi rahimahumullah berkata:


“Sungguh , dia (Hafsh) telah bertalaqqi Al-Qur’an kepada Imam Ashim sampai selesai berkali-kali. Sehingga, para ulama terdahulu lebih mengedepankan bacaan riwayat Hafsh daripada bacaan riwayat Abu Bakar (Syu’bah), dan mereka mensifati huruf-huruf bacaannya sangat dhabit (akurat dan kokoh) sebagaimana dia membaca di hadapan Imam Ashim rahimahullah. Dia adalah orang yang paling ahli dalam ilmu qira’at di masanya, dan bacaan yang telah dia pelajari dari Imam Ashim (jalur transimisinya) sampai kepada Ali bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhu.”(Tarikh Baghdad [VIII:186], dan lihat Ma’rifatul Qurra’ al-Kibar [1:289])


Kesimpulan

Istilah yang lebih tepat untuk digunakan dalam tema ini adalah multiple reading atau macam-macam qira’at Al-Qur’an, ada pun diksi “berbagai versi Al-Qur’an” kurang tepat digunakan dalam konteks Qira’at Sab’ah.


Berbagai macam Qira’at Al-Qur’an tidaklah sama dengan perbedaan yang terjadi di antara beragam versi Alkitab. Jika umat Kristen masih mempunyai bagian yang diperdebatkan dalam kitabnya (Apokripa atau Non-Canonical), baik itu dalam Perjanian Lama atau Perjanjian Baru,[30] maka tidak dengan Al-Qur’an⸺seluruh umat Islam di dunia menggunakan Al-Qur’an dengan jumlah juz atau pun dengan rasm yang sama.


Jangan sampai ada yang menyamakan Qira’at Sab’ah dengan perbedaan yang terdapat di kitab agama lain. Ada pun jika dari kalangan umat Kristen ada yang berdalil menggunakan perbedaan jumlah juz dalam Al-Qur’an milik Syi’ah, saya pikir cara argumentasi ini kurang tepat. Sebab tentu mereka sendiri tidak mau menerima apabila (misal) Bible KJV disamakan dengan Bible milik Saksi Yehuwa.


Tulisan ini tidak lain ditujukan untuk meluruskan kesalahpahaman dan tuduhan terhadap Islam, dan sebagai ajang pertukaran perspektif dalam diskusi lintas agama. Penulis sendiri meyakini bahwa Al-Qur’anlah yang 100% firman Tuhan, demikian pula pemeluk agama lain yang menganggap bahwa hanya kitab sucinyalah yang benar. Dengan tulisan ini, diharapkan dapat mermbuat kita lebih bijak dalam ber-mujadalah. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

. . وَجَادِ الْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ

“.dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. . .(QS. An-Nahl/16:125)[31]

Wallahu a'lam bishawaab


Endnote

[1] Ahmad Fathoni, “Qira’at Tujuh Al-Qur’an dan Hubungannya dengan Rasam Utsmany”, Beberapa Aspek Ilmiah tentang Al-Qur’an, I (April, 1986), hal. 123. Sebagai hasil penelitian atau pengujian qira’at yang banyak beredar, ternyata yang memnuhi syarat mutawatir menurut kesepakatan ulama Al-Qur’an ada tujuh (sab’ah) bacaan yang masing-masingnya dikuasai serta dipopulerkan oleh tujuh Imam Qira’at. Jumlah ini ternyata dapat mengelirukan sebagian ulama yang awam [mungkin terjadi slip of tongue, yang dimaksud adalah orang yang awam], di mana mereka berpendapat bahwa maksud kata-kata Nabi, “Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf,” adalah tujuh qira’at yang mutawatir ini, yakni yang dipopulerkan oleh Imam Tujuh.


Padahal, jelas sekali bahwa munculnya kriteria dan istilah qira’at tujuh adalah dua abad setelah Nabi mengutarakan kalimat “sab’atu ahruf”. Ringkasnya, sabda Rasulullah tersebut menunjukkan bahwa Al-Qur’an dapat dibaca dengan beberapa wajah, sedangkan qira’at tujuh adalah qira’at atau bacaan yang diteliti nilai sanadnya mutawatir. Hanya satu kebetulan saja keduanya sama-sama menggunakan kata sab’ah (tujuh).

[2] ibid., hal. 115-119. Perlu digarisbawahi, ahrufus sab’ah terpencar-pencar dalam beberapa salinan mushaf yang dikirim ke berbagai wilayah oleh Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu pada waktu itu. Hal ini penting, sebab sering kali disalahpahami bahwa keseluruhan mashahif utsmaniyyah mencakup ahrufus sab’ah, yang mana hal tersebut keliru.

[3] Muhsin Salim, Ilmu Qira’at: Kaidah Umum Bacaan Al-Qur’an Menurut Tujuh Imam Qira’at dalam Thariq Asy-Syathibiyyah (Jakarta, 2007), hal. 27.

[4] Sayyid Muhammad bin Ahmad asy-Syathiri, Ardhul Adillah wal Barohin ‘ala Kitabatil Mashohif Kamilatan fi Hayati Sayyidil Mursalin Shollallahu ‘alaihi Wasallam wa fi’Ahdil Khulafa’irrosyidin, terj. Tim Penerjemah al-Anwar (Sarang, 2011), hal. 38.

[5] ibid., hal. 39. Rasulullah memilih lafazh كِتَابُ اللَّهِ tidak menggunakan lafazh semisalالْقُرْآن/كَلَامُ الله mungkin saja beliau mengisyaratkan kepada mushaf. Sabda Rasulullah tersebut menjelaskan bahwa termasuk (berpegang teguh) dengan kedua-duanya (kitab Allah dan keturunan Rasulullah) itu harus dengan bentuk tekstur keduanya sehingga faidah yang digali dari keduanya menjadi sangat jelas. Hal ini dikuatkan dengan hadits tentang mu’adalah (perbandingan) yang di-nash oleh Rasulullah bahwa ahlul bait itu sepadan dengan Al-Qur’an. Maka para ulama mengambil agama dan syari’at dari mereka sebagaimana halnya ulama mengambil hukum dari al-Kitab yang diterima oleh ahlul bait dalam hal memahaminya. Ini dijelaskan dalam hadits shahih

[6] A.Fathoni, Op.Cit., hal.117

[7] asy-Syathiri, Op.Cit., hal. 63. riwayat ini di samping memperkuat hadits-hadits yang menyatakan bahwa mushaf telah wujud secara lengkap di masa Nabi, juga sekaligus membantu pendapat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an memang sudah ditulis di atas lembaran-lembaran (riqa’). Sehingga, Zaid bin Tsabit mengumpulkan Al-Qur’an melalui riqa’ atas perintah Khalifah Abu Bakar, bukan melalui aqtab (kayu yang biasa diletakkan di atas punggung unta sebagai tempat duduk), aktaf (tulang bahu unta atau kambing), likhof (batu yang tipis), ‘usub (pelepah kurma). Sebab, (1) dalam riwayat itu yang disebutkan hanyalah riqa’, tidak ada yang lain, (2) sulit diterima bahwa para Sahabat masih menulis Al-Qur’an di atas kayu, tulang, atau bahkan bebatuan. Mengapa demikian? Karena pada saat itu, mereka telah memiliki perangkat yang lengkap untuk menulis, sebagaimana indikasi yang termaktub di dalam ayat mudayanah, di mana Allah menghimbau mereka untuk menulis: “Wahai orang-orang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya....”(QS. Al-Baqarah/2:282) Oleh karenanya, sekali lagi, sulit diterima bahwa para Sahabat masih menuliskan Al-Qur’an di atas aqtab, aktaf, dan lainnya⸺sementara peradaban mereka pada saat itu sudah cukup maju.


Riwayat yang menyebutkan aqtab dan aktaf dari Zaid bin Tsabit radhiyalahu ‘anhu, walaupun terdapat dalam shahih Bukhori, perlu dikritisi. Sebab, terdapat riwayat lain yang lebih kuat dan tidak sama redaksinya dengan riwayat dalam shahih Bukhori, Hal ini penting untuk dijelaskan, sebab beberapa ulama ada yang menjadikannya sebagai acuan atau qo’idah tanpa mengkritisinya. Atas dasar ini pulalah sebagian orang berani mengatakan bahwa tidak terdapat suhuf yang bertuliskan Al-Qur’an secara lengkap di masa hidupnya Rasulullah ﷺ. Namun, bukan berarti mereka yang berpendapat bahwa para Sahabat menulis di atas riqo’ tidak menghormati Imam al-Bukhori, hal ini dilakukan tidak lain agar hati menjadi lebih mantap dengan keimanan kepada Allah Ta’ala.

[8] asy-Syathiri, Op.Cit., hal. 40.

[9] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran (Jakarta:2013), hal. 189-190. suhuf atau shahîfah, yang bermakna “lembaran-lembaran.” Kata ini, sebagaimana telah disinggung, merupakan kata bentukan baru dalam bahasa Arab yang berasal dari kata bahasa Habsyi (ethiopik) atau bahasa Arab selatan, shahafa (“menulis”), dan telah digunakan pada masa pra-Islam. Sementara kata bentukan mashaf, atau lebih sering diucapkan mushaf, memiliki makna “kitab” atau “kodeks.


Menurut Adnan Amal, terjadi kesimpangsiuran mengenai definisi mushaf atau shahifah itu sendiri. Seperti yang ia katakan: “Permasalahan (tentang) apakah shuhuf atau mushaf Al-Quran itu dijilid atau tidak, merupakan permasalahan yang sulit ditelusuri jawabannya dalam berbagai informasi yang sampai ke tangan kita. Bahkan untuk kasus mushaf Utsmani⸺yang dipandang sebagai model⸺juga tidak tersedia informasi apa pun yang dapat memastikan bahwa kumpulan Al-Qur’an tulisan tangan itu dijilid.” Namun sedikit catatan dari penulis, anggapan Adnan Amal tentang tidak terdapatnya informasi yang memastikan bahwa mushaf Al-Qur’an dijilid atau tidak, telah terpatahkan oleh pernyataan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang dinukil oleh Imam as-Suyuthi (lihat bagian ketiga pada fase kedua penulisan mushaf Al-Qur’an), Pernyataan Ali radhiyallahu ‘anhu memperjelas bahwa yang dimaksud dengan mushaf adalah Al-Qur’an yang ditulis di antara dua sampul (dijilid).


Diperkuat lagi dengan definisi mushaf dan shahifah yang teracantum dalam Lisan al-Arab, karya Ibnu Mandzur (w. 711 H). Shahifah berarti “Lembaran yang ada tulisan di atasnya.” sedangkan mushaf bermakna “Himpunan dari lembaran yang ada tulisannya dengan dibatasi dua kulit (sampul).” Makna yang sama disampaikan oleh penulis kamus lain⸺yang lebih dulu⸺yaitu al-Jauhari (w. 393 H) dalam ash-Shihah-nya.

[10] ibid., hal. 71.

[11] ibid.

[12] M.M. al-A’zami, “Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (Depok: Gema Insani, 2018), hal. 76, mengutip As-Suyuthi, al-Itqan fi Ulumil Qur’an, i:164.

[13] ibid., hal. 88-89.

[14] Zaenal Arifin, Mengenal Rasm Utsmani, Jurnal Suhuf , Vol. 5, No. 1 (Jakarta : Lajnah Pentahsihan Mushaf al-Qur’an, 2012), hal. 7.

[15] al-A’zami, Op.Cit., hal. 89.

[16] Zaenal A., Op.Cit.

[17] Mazmur Sya’roni, Pedoman Umum Penulisan &Pentashihan Mushaf Al-Qurandengan Rasm Utsmani (Jakarta,1999), hal. 5.

[18] A.Fathoni, Op.Cit., hal.116-117. Selain pendapat jumhur yang menyatakan bahwa Mashahif Utsmaniyah mancakup keseluruhan Ahurufus Sab’ah, terdapat sekelompok kecil ulama yang berpendapat bahwa Mashahif Utsmaniyah ditulis hanya dengan satu bentuk tulisan (satu huruf) saja dari Ahrufus sab’ah, yakni khusus huruf Quraisy. Hal ini dibantah oleh jumhur, sebab andaikata benar apa yang didakwakan oleh sekelompok kecil ulama tersebut, maka dalam Al-Qur’an tidak akan ditemukan selain dialek Quraisy, dan ini jelas tidak benar adanya, sebab kenyataannya dalam Al-Qur’an ditemui lughat-lughat lain selain Quraisy. Sebagai contoh:


الْاَرَائِك : Lughat Yaman

كَلَّا لَاوَزَرَ : Juga lughat Yaman

َ أَفَلَمْ يَيْأَسَ: Lughat Hawazin

لَايَلِتْكُمْ : Lughat Abas; dan lain sebagainya

[19] Abd. Rahman, “Perbandingan Rasm Utsmani Antara Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Pakistan Perspektif Al-Dānī: Analisis Kaidah Hażf Al-Harf dalam Rasm Utsmani” (Skripsi Sarjana, Fakultas Usluhuddin Jakarta UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2019), hal. 30, mengutip Jalaluddin al-Suyūthī, al-Itqān fī ulūm al-Qurān (Mesir: Mustafā al-Babi al-Halanī, 1973), h.166.

[20] al-A’zami, Op.Cit., hal. 97, mengutip Ibnu Abi Dawud, al-Masahif, hal. 19-20; al-Bukhari, Shahih, 141, Bab Jam’i Al-Qur’an, hadits no. 4987; Ibnu Katsir, Fadail, vii:442.

[21] ibid., mengutip Ibnu Hajar, Fathul Baari, ix;21

[22] ibid., hal. 96.

[23] ibid., mengutip Abdul-Fattah al-Qadi, “al-Qira’at fi Nazar al-Mustashriqin wa Mulhidin”, Majallat al-Azhar, vol. 43/2, 1391 (1971), hal. 175.

[24] Abd. Rahman, Op.Cit., hal. 17-22. Macam-macam kaidah rasm Utsmany tersebut adalah: Hazf al-Harf (Pembuangan huruf); Az-ziyadah (penambahan huruf ya, alif, atau wawu); al-Washal wa al-Fashal (Sambung pisah); kaidah Hamzah; kaidah al-Badal (pengganti); kaidah yang berkaitan dengan dua baacaan.

[25] A.Fathoni, Op.Cit., hal.114. Kata Sab’ah dalam bahasa Arab bisa berarti bilangan di antara enam dan delapan, namun juga bisa berarti bilangan tak terbatas.

[26] al-A’zami, Op.Cit., hal. 175.

[27] Muhsin Salim, Ilmu Qira’at Tujuh: Bacaan Al-Qur’an Menurut Tujuh Imam Qira’at dalam Thariq Asy-Syathibiyyah (Jakarta, 2008), jilid I, hal. 5.

[28] ibid., hal. 39.

[29] Muhsin Salim, Ilmu Qira’at: Kaidah Umum Bacaan Al-Qur’an Menurut Tujuh Imam Qira’at dalam Thariq Asy-Syathibiyyah, Op.Cit., hal.22.

[30] Syekh Muhammad Rahmatullah al-Kairanawi, Izharul Haq, terj. Alimin, Nunu B. (Jakarta,2003), hal. 60-62.

[31] Dari segi gramatikal bahasa Arab, mengenai penjabaran dari “berdebat dengan cara yang baik”⸺untuk sementara⸺dapat dipahami terhindar dari niat menganiaya, menentang, melecehkan atau mengolok-ngolok. Hal ini disebabkan dalam ayat tersebut terdapat kata “billati” yang merupakan isim mausul (kata hubung ) yang menunjukkan gender perempuan (muannas), dan biasanya pemakaian muannas sering dipakai pada makna-makna yang negatif, sehingga yang menjadi batasannya pun adalah hal-hal negatif tersebut. (Nanih, A.Kusnawan, 2003:37)

2,189 views1 comment
Post: Blog2_Post
bottom of page