top of page
Search
  • izzulllislam

Tuhan Umat Islam Plin-plan (?): Nasakh dalam Al-Qur’an dan Bible


Allah Ta’ala berfirman:

مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا. . .

Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. . .(Qs. Al-Baqarah/2:106)


Ayat tersebut sering kali digunakan sebagai bahan argumentasi oleh misionaris Kristen guna membuktikan bahwa Allah adalah entitas yang bodoh dan plin-plan terhadap hukum yang telah Dia buat. Serta Nabi Muhammad adalah penipu, pikun, dan orang gila,⸺sebab tak jarang di hari tertentu ia menetapkan sebuah perintah, namun keesokannya ia melarang untuk melakukan perintah tersebut.


Salah satu tokoh yang menjadi idola umat Kristen saat ini, Christian Prince, tak jarang memaki Nabi Muhammad dengan membawa ayat tersebut. Ia menyertakan tafsiran ulama Islam:


Tatkala orang-orang kafir mengecam tentang nasakh/penghapusan atau pergantian hukum dan menuduh bahwa Muhammad menyuruh sahabat-sahabatnya untuk mengerjakan sesuatu pada hari ini lalu melarangnya esok, maka turunlah ayat, “ (Apa saja) disebut ‘syarthiyah’ yang membutuhkan jawaban (ayat yang kami hapus) baik hukumnya itu pada mulanya turun bersama lafaznya atau tidak dan menurut satu qira’at nunsikh, artinya Kami titah kamu atau Jibril untuk menghapusnya (atau Kami tangguhkan) Kami undurkan sehingga hukumya tidak turun dan bacaannya Kami tangguhkan di lauhul mahfuz. . .(Tafsir Jalalain)


Apa yang Dimaksud dengan Nasakh?

Pertama-tama, untuk menjawab tuduhan tersebut perlu diketahui terlebih dahulu mengenai definisi nasakh. Dalam kesempatan ini, penulis akan membaginya menjadi definisi nominal (ta’rif lafzhi) dan definisi real (ta’rif haqiqi).


1. Definisi Nominal (Ta’rif Lafzhi)


Nasakh secara bahasa memiliki arti memindahkan, menghapuskan, dan mengubah.


2. Definisi Real (Ta’rif Haqiqi)


Nasakh yang dimaksudkan oleh para ulama Islam adalah bahwa Allah tahu sebuah hukum dapat berlaku atas orang-orang yang diperintahkan (mukallafin) sampai suatu masa tertentu saja, dan setelah itu hukum tersebut di-nasakh. Ketika waktu yang ditentukan itu datang, maka Allah menurunkan hukum baru; baik bersifat tambahan, pengurangan, atau hukum itu sama sekali diangkat.


Kesalahpahaman terhadap Nasakh

Penulis sengaja menggunakan diksi “kesalahpahaman” di sini guna menjelaskan bahwa adanya kekeliruan dalam mendefinisikan nasakh sangatlah mungkin terjadi, baik dari pihak muslim maupun non-muslim.


1. Nasakh bukan berarti Allah tidak mengetahui akibat dari apa yang telah Ia perintahkan atau larang, dan setelah Dia mengetahui masalah yang timbul dari perintah atau larangan-Nya tersebut, maka Dia (Allah) me-nasakh-nya.


2. Nasakh bukanlah seumpama Allah menurunkan perintah dan larangan akan suatu hal, dan pada detik yang sama Allah me-nasakh dengan hal-hal yang menjadi kebalikannya.


Contoh Nasakh dalam Syariat Islam

Secara garis besar, nasakh dalam Al-Qur’an dikategorikan menjadi tiga macam:


1. Wahyu yang terhapus baik hukum maupun bacaannya di dalam mushaf (Nasakh al-hukm wa at-tilãwah)


Contoh: Ayat tentang persusuan 10 kali menjadi sebab haramnya pernikahan


عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ. ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Ketika Al Quran diturunkan yang berlaku adalah sepuluh kali susuan sehingga bisa menjadi mahram. Kemudian perkara tersebut dihapus menjadi lima kali susuan. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia dan demikianlah yang berlaku dalam Al Quran (yaitu lima kali susuan).” (HR. Muslim No. 1452)


2. Wahyu yang hanya terhapus hukumnya, sementara teks atau bacaannya masih terdapat di dalam mushaf (Nasakh al-hukm dûna at-tilãwah)

Contoh:


يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِن يَكُن مِّنكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَّكُن مِّنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِّنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَ يَفْقَهُونَ

Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. (Qs. Al Anfal/8:65)


Kemudian di-nasakh (terhapus) dengan firman Allah yang lain:

الْئَانَ خَفَّفَ اللهُ عَنكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِن يَكُن مِّنكُم مِّائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَكُنْ مِّنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللهِ وَاللهُ مَعَ الصَّابِرِينَ

Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (Qs. Al Anfal/8:66)


3. Wahyu yang terhapus teks atau bacaannya, tetapi hukumnya masih berlaku (Nasakh at-tilãwah dûna al-hukm).

Contohnya: Ayat tentang rajm

الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ نَكَالاً مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

Apabila seorang laki-laki dewasa dan seorang perempuan dewasa berzina, maka rajm­lah keduanya, itulah kepastian hukum dari Tuhan, dan Tuhan maha kuasa lagi bijaksana.


Sikap Ilmiah Umat Islam terkait dengan Nasakh

Umat Islam perlu mengambil sikap ilmiah dalam menghadapi berbagai tuduhan; juga harus menerima fakta bahwa memang ada ayat yang awalnya termaktub dalam Al-Qur’an namun ketika talaqqi terakhir Nabi Muhammad (mendekati masa wafatnya), ayat tersebut dikeluarkan dari mushaf lantaran dihapus (nasakh) baik hukum maupun bacaannya, sebagaimana contoh ayat persusuan di atas.


Kodeks atau mushaf Al-Qur’an telah “bersih” dari ayat-ayat yang bacaannya telah di-nasakh sejak masa Khalifah Abu Bakar, lalu kemudian menjadi rujukan Utsman bin Affan dalam penyusunan Mushaf Utsmany, yang dibuat guna menyeragamkan atau sebagai mushaf induk umat Islam hingga saat ini. (Baca juga: Keautentikan Mushaf Utsmany)


Baik ayat yang dihapus bacaan dan hukumnya sekaligus; atau ayat yang dihapus hukumnya namun bacaannya tetap ada dalam mushaf; serta ayat yang dihapus bacaannya namun hukumnya tetap berlaku,⸺semuanya merupakan kehendak Allah, bukan atas permintaan pribadi Nabi Muhammad, Sahabat, atau para Tabi’in.


Demi kepentingan argumentasi, penggugat dari pihak non-muslim harus menerima bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang yang dusta dalam menyampaikan wahyu. Sebab dari perspektif kaum muslimin, adanya nasakh dalam Al-Qur’an murni atas perintah Allah. Ada pun Nabi Muhammad, beliau sama sekali tidak memegang otoritas untuk menambah atau menghapus satu pun ketetapan dalam Al-Qur’an. Tidaklah beliau menyampaikan sesuatu kecuali wahyu yang diturunkan Allah kepadanya.


وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ (٣) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ (٤)

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Qs. An-Najm/53:3-4)

Idealnya, gugatan seharusnya hanya mengarah ke, “Apakah Tuhan umat Islam adalah entitas yang bodoh dan plin-plan? Sebab telah terbukti ada ketetapan atau ayat Al-Qur’an yang dihapus.”


Nasakh Tidak Dikhususkan kepada Syariat Nabi Muhammad ﷺ

Adanya penghapusan ketentuan atau hukum tidaklah dikhususkan dalam syariat Nabi Muhammad; nasakh sudah ada pada syariat Nabi sebelumnya dan ditujukan untuk kepentingan atau kemaslahatan umat manusia.

Syariat di masa Nabi Adam hingga Ibrahim misalnya, pada saat itu pernikahan seseorang dengan saudaranya masih diperbolehkan. Sebagaimana disebutkan dalam Perjanjian Lama bahwa Nabi Ibrahim alaihissalam menikahi Sarah yang merupakan saudarinya.

“Lagi pula, ia (Sarah) memang adikku; dia anak Ayahku, tetapi bukan anak Ibuku, dan dia menjadi Istriku.” (Kitab Kejadian/20:12)

Dalam syariat Musa alaihissalam, pernikahan terhadap saudara merupakan perbuatan yang dilarang, baik itu saudara kandung atau pun saudara yang berbeda ibu.

“Bila seorang laki-laki menikahi saudara perempuannya, yaitu anak perempuan ayah atau ibunya, dan melakukan hubungan seksual dengannya, itu adalah aib. Mereka harus dilenyapkan di hadapan seluruh bangsanya. Laki-laki itu telah melakukan hubungan seksual dengan saudara perempuannya dan ia akan menanggung hukuman atas kesalahannya.” (Kitab Imamat/20:17)

Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa sedari awal Tuhan ingin menetapkan haramnya pernikahan laki-laki dengan saudarinya, tetapi melihat populasi manusia di masa Nabi Adam hingga Ibrahim jumlahnya masih sangat terbatas, maka pada masa itu diperbolehkan seseorang untuk menikahi saudaranya demi kemaslahatan bani Adam dalam memperoleh keturunan. Baru kemudian syariat tersebut di-nasakh pada masa Nabi Musa alaihissalam.

Dengan tidak adanya nasakh, malah akan menimbulkan problematika bagi umat manusia itu sendiri. Misal kehendak Tuhan untuk mengharamkan pernikahan antar saudara sudah ditetapkan sejak zaman Nabi Adam, maka KONSEKUENSINYA ADALAH SELURUH BANI ADAM MERUPAKAN KETURUNAN ZINA! Dan sudah pasti orang yang berzina akan mendapatkan hukuman yang berat. Oleh karenanya, tidaklah Tuhan me-nasakh sebuah ketetapan melainkan demi kemaslahatan hamba-Nya.


Terdapat Banyak Contoh Nasakh dalam Bible

Jika misionaris Kristen ingin menggugat Islam disebabkan dalam Al-Qur’an terdapat nasakh, maka seharusnya mereka melihat kitab sucinya terlebih dahulu. Sebab, faktanya nasakh juga terdapat di dalam Bible. Selain yang telah disebutkan sebelumnya, berikut akan disebutkan dua contoh lain nasakh dalam Alkitab yang cukup jelas dan mudah dimengerti.

1. Semua binatang halal (Nuh) ---> Tidak semua binatang halal (Musa)

Firman Tuhan kepada Nuh:


Segala yang hidup dan bergerak akan menjadi makananmu. Seperti Aku memberikan tumbuh-tumbuhan hijau kepadamu, sekarang Aku memberikan segalanya kepadamu. (Kitab Kejadian/9:3)

Di-nasakh dalam syariat Musa. Ada beberapa hewan yang kemudian diharamkan; seperti unta, pelanduk, kelinci, dan babi.


Namun, dari binatang yang berkuku belah atau memamah biak, inilah yang tidak boleh kamu makan; yaitu unta, sebab meskipun memamah biak, unta tidak berkuku belah. Itu haram bagimu. Pelanduk juga tidak boleh kamu makan; sebab meskipun memamah biak, pelanduk tidak berkuku belah. Itu haram bagimu. Kelinci juga tidak boleh dimakan; sebab mesikpun memamah biak, kelinci tidak berkuku belah. Sedang hewan lain yang tidak boleh kamu makan adalah babi. Sebab meskipun berkuku belah, yaitu kukunya benar-benar terbelah, babi tidak memamah biak. Itu haram bagimu. (Kitab Imamat/11:4-7)

2. Laki-laki boleh menceraikan istri dengan berbagai alasan + perempuan yang diceraikan boleh dinikahi oleh laki-laki lain (Musa) ---> Perceraian tidak dibolehkan kecuali karena alasan perzinahan + perempuan yang diceraikan tidak boleh dinikahi lagi (Yesus)

Dalam syariat Musa:

Apabila seorang laki-laki mengambil seorang perempuan dan menikahinya, lalu dia tidak menyukainya lagi karena dia mendapati hal yang memalukan. Kemudian dia menulis surat cerai dan memberikannya kepada perempuan itu dan menyuruhnya pergi dari rumahnya. Setelah perempuan itu meninggalkan rumahnya dan pergi, lalu menjadi istri orang lain. Jika suami keduanya tidak mencintainya lagi dan menulis surat cerai lalu menyuruhnya pergi dari rumahnya, atau jika suami kedua yang memperistrinya tersebut mati, maka suaminya yang pertama, yang telah menyuruhnya pergi itu tidak boleh mengambil perempuan itu menjadi istri setelah perempuan itu menjadi najis. Itu adalah kekejian bagi Tuhan. Janganlah kamu mendatangkan dosa di negeri yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu. (Kitab Ulangan/24:1-4)

Di-nasakh dalam syariat Yesus:

Sudah dikatakan : Siapa yang menceraikan istrinya harus memberi surat cerai kepada istrinya itu. Akan tetapi, Aku mengatakan kepadamu bahwa siapa yang menceraikan istrinya, kecuali karena zina, ia membuat istrinya berzina. Dan siapa yang menikah dengan perempuan yang telah diceraikan itu, ia juga berzina. (Injil Matius/5:31-32)

Maka, jelaslah bahwa adanya nasakh baik dalam syariat Nabi Muhammad maupun nabi-nabi sebelumnya tidaklah berarti Allah adalah entitas yang plin-plan atau bodoh.


Wallahu a’lam bisshawab

146 views0 comments

Commentaires


Post: Blog2_Post
bottom of page